Jumat, 06 Desember 2013

perbedaan perilaku isolasi sosial menarik diri


PERBEDAAN PERILAKU PASIEN ISOLASI SOSIAL SESUDAH  DILAKUKAN TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Bahasa Indonesia

Disusun Oleh                    
Nama                                    :HANA FEBRIYANTI
Nim                                        : 130210068
Kelas                                     : REGULER
Program Studi                   :S1 KEPERAWATAN
Semester                            : 1A




SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANTEN
JL.RAWA BUNTU NO.10
BSD CITY SERPONG 15318
TELP : 021-75871241/75871245




BAB I
PENDAHULUAN
1.1                   Latar Belakang
Sehat mental adalah penyesuaian manusia terhadap lingkungannya dan orang-orang lain dengan keefektifan dan kebahagiaan yang optimal, dalam mental yang sehat terdapat kemampuan untuk memelihara intelegensi yang siap digunakan. Perilaku yang dipertimbangkan secara sosial, dan disposisi yang bahagia (Karl Menninger dalam Lukluk dan Bandiyah, 2008:56). Sehat menurut WHO adalah keadaan yang sempurna baik fisik, mental maupun sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit atau kelemahan, tidak hanya terbebas dari penyakit serta kelemahan (Videbeck, 2008:3). Dalam definisi tersebut jelas bahwa sehat bukan hanya terbebas dari penyakit atau cacat. Orang yang tidak berpenyakit pun belum tentu dikatakan sehat. Seseorang dikatakan sehat jika ia dalam keadaan yang sempurna baik fisik, mental maupun sosial, dengan demikian seseorang dikatakan sehat jiwa apabila mampu mengendalikan diri dalam menghadapi stressor di lingkungan sekitar dengan selalu berfikir positif dalam keselarasan tanpa adanya tekanan fisik dan psikologis, baik secara internal maupun eksternal yang mengarah pada kestabilan emosional (Nasir dan Muhith, 2011:2).
               Dalam perkembangan dan pembangunan dunia akhir-akhir ini yang ditandai dengan modernisasi, industrialisasi dan globalisasi, akan banyak membawa perubahan dalam kehidupan yang bisa menimbulkan stressor bagi seseorang, dengan tingginya stressor itu diperkirakan gangguan jiwa akan semakin meningkat, hal ini akan menimbulkan masalah karena penderitanya akan menjadi tidak produktif dan akan bergantung pada orang lain. Masalah gangguan jiwa memang tidak menyebabkan kematian secara langsung, namun akan menyebabkan penderitaan yang berkepanjangan bagi individu, masyarakat dan keluarga. Menurut (American Psychiatric Association, 1994 dalam Videbeck, 2008:4) gangguan jiwa adalah suatu sindrom atau pola psikologis atau perilaku yang penting secara klinis yang terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan adanya distress atau sangat kehilangan kebebasan. Gangguan jiwa merupakan manifestasi dari bentuk penyimpangan perilaku akibat adanya distorsi emosi sehingga ditemukan ketidakwajaran dalam bertingkah laku. Hal ini terjadi karena menurunnya semua fungsi kejiwaan (Nasir dan Muhith, 2011:8).
                           Gambaran menurut penelitian WHO (2009), prevalensi masalah kesehatan jiwa saat ini cukup tinggi, sekitar 10% orang dewasa mengalami gangguan jiwa saat ini dan 25% penduduk dunia diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu hidupnya. Usia ini biasanya terjadi pada dewasa muda antara 18-20 tahun 1% diantaranya adalah gangguan jiwa berat, potensi seseorang mudah terserang gangguan jiwa memang tinggi, setiap saat 450 juta orang diseluruh dunia terkena dampak permasalahan jiwa, saraf  maupun perilaku. Salah satu bentuk gangguan jiwa yang paling banyak terjadi di seluruh dunia adalah gangguan jiwa skizofrenia. Prevalensi skizofrenia didunia 0,1 per mil dengan tanpa memandang perbedaan status sosial atau budaya (Varcarolis and Halter 2010 dalam Efendi, 2011). Menurut National Institute of Mental Health gangguan jiwa mencapai 13% dari penyakit secara keseluruhan dan diperkirakan akan berkembang menjadi 25% di tahun 2030. Kejadian tersebut akan memberikan andil meningkatnya prevalensi gangguan jiwa dari tahun ke tahun di berbagai Negara. Berdasarkan hasil sensus penduduk Amerika Serikat tahun 2004, diperkirakan 26,2% penduduk yang berusia 18-30 tahun atau lebih mengalami gangguan jiwa, jika prevalensi gangguan jiwa diatas 100 jiwa per 1000 penduduk dunia, maka berarti di Indonesia mencapai 264 per 1000 penduduk. (NIMH, 2011) yang dikutip oleh (Hidayati, 2012).
               Hasil Riset Dasar Kesehatan Nasional Tahun 2007, menyebutkan bahwa sebanyak 0,46 per mil masyarakat Indonesia mengalami gangguan jiwa berat. Mereka adalah yang diketahui mengidap skizofrenia dan mengalami gangguan psikotik berat (Depkes RI, 2007). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (2007), dengan kata lain menunjukan bahwa gangguan jiwa secara Nasional mencapai 5,6% dari jumlah penduduk, hal tersebut menunjukan bahwa pada setiap 1000 orang penduduk terdapat empat atau lima orang menderita gangguan jiwa. Berdasarkan dari hasil tersebut bahwa data pertahun di Indonesia yang mengalami gangguan jiwa selalu meningkat. (Hidayati, 2012). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementrian Kesehatan tahun 2007 juga diketahui bahwa masalah kesehatan jiwa di Indonesia dengan Gangguan Mental Emosional (Depresi dan Ansietas) sebesar 11,6% atau sekitar 19 juta orang dan Gangguan Jiwa Berat (Psikosis) sebesar 0,46% sekitar 1 juta orang. Prevalensi gangguan jiwa tertinggi di Indonesia terdapat di Provisi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (24,3%), di ikuti Nangroe Aceh Darussalam (18,5%), Sumatra Barat (17,7%), NTB (10,9%), Sumatera Selatan (9,2%), dan Jawa Tengah (6,8%). (Depkes RI, 2008) yang dikutip oleh (Eni Hidayati, 2012).
               Kebijakan Pemerintah dalam menangani pasien gangguan jiwa tercantum dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan jiwa, disebutkan dalam pasal 149 ayat (2) mengatakan bahwa Pemerintah dan masyarakat wajib melakukan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan mengganggu ketertiban atau keamanan umum, termasuk pembiayaan pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa untuk masyarakat miskin. Salah satu masalah gangguan jiwa yang kejadiannya cukup banyak terjadi saat ini di Yogyakarta adalah isolasi sosial yang masuk dalam katagori ketiga setelah halusinasi (Wiastuti, 2011).
               Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan orang lain dan lingkungan sosial dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Manusia tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa ada hubungan dengan lingkungan sosialnya. Dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya, manusia perlu membina hubungan interpersonal untuk mencapai kepuasan hidup (Trimelia, 2011:2). Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya, pasien mungkin merasa ditolak, kesepian dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain Keliat (2005) yang dikutip dari Efendi (2011). Menurut NANDA (2007) yang dikutip dari Wiastuti (2011) yang menyebutkan bahwa pasien yang mengalami isolasi sosial secara langsung akan mengekspresikan perasaan kesendirian, perasaan penolakan, minat tidak sesuai dengan umur perkembangan, tujuan hidup tidak ada atau tidak adekuat, tidak mampu memenuhi harapan orang lain. Dampak yang dapat ditimbulkan oleh isolasi sosial adalah, gangguan hubungan interpersonal dan gangguan interaksi sosial. Bila klien isolasi sosial (menarik diri) tidak cepat teratasi maka akan dapat membahayakan keselamatan diri sendiri maupun orang lain (Kelliat, 2006). Menurut Stuart and Sundeen (2006) dalam Efendi (2011) individu dalam situsi seperti ini harus diarahkan pada respon perilaku dan interaksi sosial yang optimal melalui terapi modalitas, diantaranya adalah Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi.
Menurut hasil penelitian Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi oleh Rika (2012) menunjukan perubahan yang signifikan antara sebelum dan sesudah dilakukan Terapi Aktivitas kelompok sosialisasi 1, 2 dan 3, dari nilai rata-rata sebelum dilakukan terapi adalah 10,58 dan nilai rata-rata sesudah dilakukan terapi adalah 13,52. Terdapat peningkatan yang bermakna pada perubahan perilaku isolasi sosial sesudah dilakukan terapi aktivitas kelompok dengan P value 0,000 karena P value ≤ 0,05 pada taraf signifikan 5% maka Ha diterima.
Penelitian menurut Wiastuti (2011) didapatkan data sesudah perlakuan dari 15 responden (100%) memiliki kemampuan sosialisasi baik. Hasil pengukuran dari 11 responden yang memiliki kemampuan sosialisasi cukup mengalami peningkatan kemampuan sosialisasi menjadi baik dan 4 responden yang memiliki kemampuan sosisalisasi menjadi baik. Hasil pengukuran kemampuan sosialisasi tersebut menunjukan bahwa dengan adanya pemberian Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi berpengaruh terhadap kemampuan sosialisasi pada pasien isolasi sosial. Hasil penelitian tersebut juga diperkuat dengan penelitian yang dilakukan Sudjarwo (2006), hasil penelitian menunjukan bahwa Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi meningkatkan kemampuan komunikasi verbal pasien isolasi sosial, serta penelitian yang dilakukan oleh Setya, T (2009), didapatkan adanya pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi terhadap kemampuan berinteraksi pada pasien isolasi sosisal di Rumah Sakit Jiwa Pusat Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta. Sedangkan peneliti Joko (2009) di RS Surakarta menyatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan pelaksanaan Terapi Aktifitas Kelompok Sosialisasi sesi satu dan dua terhadap perubahan perilaku isolasi sosial. 
Hasil studi pendahuluan yang peneliti laksanakan di Klinik Primaguna Tangerang Selatan, Kepala Klinik menjelaskan jumlah pasien terdiri dari laki-laki 27 jiwa dan perempuan 16 jiwa yang tinggal di Klinik tersebut, karakteristik pasien yang berada dalam Klinik tersebut beragam dan memiliki diagnosa medis yang bermacam-macam. Hasil medical record Klinik Primaguna di dapatkan dari 43 pasien jiwa, yang memiliki diagnosa keperawatan isolasi sosial sebesar 23 jiwa. Berdasarkan hasil wawancara dengan perawat Klinik Primaguna menyatakan bahwa belum ada peneliti yang meneliti tentang terapi aktivitas kelompok pada pasien dengan isolasi sosial ditempat tersebut. Dari latar belakang tersebut diatas penulis tertarik membuat penelitian untuk mengetahui apakah ada Perbedaan Perilaku Pasien Isolasi Sosial Sesudah dilakukan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi di Klinik Primaguna Tangerang Selatan Tahun 2013.
1.2                   Rumusan Masalah
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Rumah Sakit jiwa dan rehabilitasi mental Dharmagraha bahwa lebih dari 50% pasien jiwa memiliki diagnosa keperawatan jiwa isolasi sosial. Pada pasien gangguan jiwa dengan perilaku isolasi sosial ia tidak memiliki motivasi, pasien mengalami harga diri rendah, tidak berharga dan tidak berguna sehingga merasa tidak aman dalam membina hubungan dengan orang lain. Menurut Stuart and Sundeen (2006) dalam Efendi (2011) individu dalam situsi seperti ini harus diarahkan pada respon perilaku dan interaksi sosial yang optimal melalui keperawatan yang komperhensif dan terus menerus disertai dengan terapi modalitas, diantaranya adalah Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi. Tujuan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisai adalah pasien dapat meningkatkan hubungan sosial dalam kelompok secara bertahap. Menurut hasil beberapa penelitian yang di lakukan oleh Rika (2012), Efendi (2011), Wiastuti (2011), Setya (2009), Joko (2009) dan Sudjarwo (2006) menunjukan bahwa ada pengaruh yang signifikan terhadap perubahan perilaku pasien isolasi sosial sesudah di lakukan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi. Melihat cukup tingginya pasien jiwa yang mengalami diagnosa isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Primaguna maka dengan pertimbangan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk mengangkat judul “Perbedaan Perilaku Pasien Isolasi Sosial Sesudah dilakukan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi di Rumah Sakit  Jiwa Darmagraha Tangerang Selatan Tahun 2013”. 

1.3                    Pertanyaan penelitian
1.3.1              Bagaimana perilaku pasien isolasi sosial sebelum dilakukan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi ?
1.3.2              Bagaimana perilaku pasien isolasi sosial sesudah dilakukan Terapi Aktivitas KelompokSosialisasi ?
1.3.3              Bagaimana perbedaan perilaku pasien isolasi sosial sebelum dan sesudah dilakukan Terapi Aktivitas Kelompok  Sosialisasi ?





1.4                    Tujuan penelitian
1.4.1              Tujuan Umum
Mengetahui perbedaan perilaku sesudah dilakukan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi pada pasien yang mengalami isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Dramagraha

1.5          Manfaat Penelitian
1.5.1       Bagi Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan dan wawasan pada mahasiswa dibidang kesehatan dan umumnya di Rumah Sakit Jiwa Dramagraha khususnya.
1.5.2       Bagi Profesi Keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat berfungsi sebagai acuan meningkatkan peran serta dalam memberikan pendidikan kesehatan program Terapi Aktivitas Kelompok yaitu pentingnya manfaat melakukan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi pada pasien isolasi sosial.
1.5.3       Bagi Lokasi penelitian
Hasil penelitian ini diharapakan dapat menambah bahan masukan bagi petugas kesehatan di Rumah Sakit Jiwa Darmagraha agar dapat meningkatkan pelaksanaan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi dengan memperhatikan indikasi klien yang bisa di ikutsertakan
1.5.4       Bagi Peneliti Selanjutnya.
Penelitian ini sebagai proses pembelajaran metodologi penelitian dan riset keperawatan serta pengalaman yang berharga dalam menerapkan pengetahuan tentang Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi. 






BAB  II
PEMBAHASAN

2.1                   Definisi Isolasi Sosial
Isolasi sosial adalah kondisi ketika individu atau kelompok mengalami atau merasakan kebutuhan atau keinginan untuk lebih terlibat dalam aktivitas bersama orang lain tetapi tidak mampu mewujudkannya. Isolasi sosial merupakan kondisi yang subjektif seluruh kesimpulan yang dibuat berkaitan dengan perasaan sunyi yang dirasakan individu harus divalidasi karena penyebabnya bisa bermacam-macam dan cara individu menunjukannya beragam (Carpenito, 2009:1045). Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya (Damaiyanti, 2008:75).
Isolasi sosial juga merupakan kesepian yang dialami oleh individu dan dirasakan saat didorong oleh keberadaan orang lain dan sebagai pernyataan negatif atau mengancam. Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Nanda-I, 2012:75)
Isolasi sosial merupakan upaya klien untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain maupun komunikasi dengan orang lain (Keliat, 1998 dalam Trimelia, 2011:3). Isolasi sosial adalah suatu gangguan hubungan interpersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku maladaptif dan menggangu fungsi seseorang dalam hubungan sosial (Depkes RI, 2000). Isolasi sosial merupakan upaya menghindari komunikasi dengan orang lain karena merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk berbagi rasa, pikiran, dan kegagalan. Pasien mengalami kesulitan dalam berhubungan secara spontan dengan orang lain yang dimanifestasikan dengan mengisolasi diri, tidak ada perhatian dan tidak sanggup berbagi pengalaman (Yosep, 2007:14).
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Trimelia, 2011:3).
Seseorang dengan isolasi sosial akan menghindari interaksi dengan orang lain. Ia mengalami kesulitan untuk berhubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran dan prestasi atau kegagalan. Ia mengalami kesulitan untuk berhubungan secara spontan dengan orang lain, yang dimanifastasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian dan tidak sanggup membagi pengalaman dengan orang lain. Isolasi sosial adalah mekanisme perilaku seseorang yang apabila menghadapi konflik frustasi, ia menarik diri dari pergaulan lingkungannya (Sunaryo, 2004:226). Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya, pasien mungkin merasa ditolak, diterima, kesepian dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain Kliat (2005) yang dikutip dari Efendi (2011).

2.2                   Etiologi
Berbagai faktor dapat menimbulkan respon yang maladaptif. Menurut Stuart dan Sundeen (2007) dalam Damaiyanti dan Iskandar (2012:79), belum ada suatu kesimpulan yang spesifik tentang penyebab gangguan yang mempengaruhi hubungan interpersonal. Faktor yang mungkin mempengaruhi isolasi sosial adalah faktor predisposisi dan faktor presipitasi.




2.2.1             Faktor Predisposisi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial.
1.    Faktor perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus didahului individu dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak dapat dipenuhi, akan menghambat masa perkembangan selanjutnya. Keluarga adalah tempat pertama yang memberikan pengalaman bagi individu dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian dan kehangatan dari ibu atau pengasuh pada bayi akan memberikan rasa tidak aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya diri. Rasa ketidakpercayaan tersebut dapat mengembangkan tingkah laku curiga pada orang lain maupun lingkungan di kemudian hari.
2.    Faktor komunikasi dalam keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung untuk terjadinya gangguan hubungan sosial, seperti adanya komunikasi yang tidak jelas (double bind) yaitu suatu keadaan dimana individu menerima pesan yang saling bertentangan dalam waktu bersamaan, dan ekspresi emosi yang tinggi di setiap berkomunikasi.
3.    Faktor sosial budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu keluarga, seperti anggota tidak produktif diasingkan dari lingkungan sosial.
4.    Faktor biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa. Insiden tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota keluarganya ada yang menderita skizofrenia. Berdasarkan hasil penelitian pada kembar monozigot apabila salah diantaranya menderita skizofrenia adalah 58%, sedangkan bagi kembar dizigot perentasenya 8%.


2.2.2             Faktor Presipitasi
Stressor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor internal maupun eksternal.
1.    Stressor sosial budaya
Stressor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan, terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah dengan orang yang dicintai, kehilangan pasangan pada usia tua, dipenjara. Semua ini dapat menimbulkan isolasi sosial.
2.    Stressor biokimia
a.    Teori dopamin: kelebihan dopamin pada mesokortikal dan mesolimbik serta tractus saraf dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.
b.    Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) di dalam darah akan meningkatkan dopamine dalam otak. Karena salah satu kegiatan MAO adalah sebagai enzim yang menurunkan dopamine, maka menurunnya MAO juga dapat merupakan indikasi terjadinya skizofreni.
c.    Faktor endokrin: jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan pada klien skizofrenia. Demikian pula prolactin mengalami penurunan karena dihambat.
2.3                    Rentang Respon Neurobiologik
Respon adaptif                                                                      respon maladaptif


 








2.4                   Tanda dan Gejala
Menurut Damaiyanti dan Iskandar (2012:80), tanda dan gejala klien dengan isolasi sosial.
1.    Banyak berdiam diri dikamar.
2.    Kurang bertenaga.
3.    Sikap murung dan datar.
4.    Tidak atau kurang komunikasi verbal.
5.    Tidak merawat diri dan memperhatikan diri.
6.    Tidak atau malas mengikuti kegiatan.
7.    Klien kurang spontan terhadap stimulus yang diberikan.
8.    Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitar.
9. Tidak mau bercakap-cakap, pergi jika diajak bicara.
10. Kontak mata kurang atau tidak mau mentap lawan bicara.
Perilaku ini biasanya disebabkan karena seseorang menilai dirinya rendah, sehingga timbul perasaan malu untuk berinteraksi dengan orang lain. Bila tidak diberikan intervensi lebih lanjut, maka akan menyebabkan perubahan persepsi sensori : halusinasi dan resiko tinggi menyederai diri sendiri, orang lain bahkan lingkungan. Perilaku yang tertutup dengan orang lain juga bisa menyebabkan intoleransi aktivitas yang akhirnya bisa berpengaruh terhadap ketidakmampuan untuk melakukan perawatan secara mandiri. Seseorang yang mempunyai harga diri rendah awalnya disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah dalam hidupnya, sehingga orang tersebut berperilaku tidak normal (koping individu tidak aktif).







2.5                   Komplikasi
Komplikasi yang mugkin di timbulkan  pada klien dengan isolasi sosial.
1.    Gangguan sensori presepsi: halusinasi
2.    Defisit perawatan diri

2.6                   Pengertian Konsep dan Teori Perilaku
Perilaku manusia adalah suatu aktivitas manusia itu sendiri (Notoatmodjo, 1993 dalam Sunaryo, 2004:3). Secara umum perilaku manusia pada hakekatnya adalah proses interaksi individu dengan lingkungannya sebagai manifestasi hayati bahwa dia adalah makhluk hidup (Kumayati dan Desaminiarti, 1990 dalam Sunaryo, 2004:3).

2.6.1             Ciri-Ciri Perilaku Manusia
1.      Kepekaan Sosial
Artinya kemampuan manusia untuk dapat menyesuaikan perilakunya sesuai pandangan dan harapan orang lain.
2.      Kelangsungan Perilaku
Artinya antara perilaku yang satu ada kaitannya dengan perilaku yang lain, perilaku sekarang adalah kelanjutan perilaku yang baru lalu, dan seterusnya. Dalam kata lain bahwa perilaku manusia terjadi secara berkesinambungan bukan secara serta merta.
3.      Orientasi pada Tugas
Artinya bahwa setiap perilaku manusia selalu memiliki orientasi pada suatu tugas tertentu.
4.      Usaha dan Perjuangan
Usaha dan perjuangan manusia telah dipilih dan ditentukan sendiri, serta tidak akan memperjuangkan sesuatu yang memang tidak ingin diperjuangkan. Jadi, sebenarnya manusia memiliki cita-cita yang ingin diperjuangkannya.

5.      Setiap Individu Manusia adalah Unik
Unik disini mengandung arti bahwa manusia yang satu berbeda dengan manusia yang lain dan tidak ada dua manusia yang sama persis dimuka bumi ini, walaupun ia dilahirkan kembar.

2.6.2             Proses Pembentukan Perilaku
Perilaku manusia terbentuk karena adanya kebutuhan. Menurut Abraham Harold Maslow, manusia memiliki lima kebutuhan dasar.
1.      Kebutuhan fisiologis/biologis, yang merupakan kebutuhan pokok utama.
2.      Kebutuhan rasa aman.
3.      Kebutuhan mencintai dan dicintai.
4.      Kebutuhan harga diri.
5.      Kebutuhan aktualisasi diri.
2.6.3             Faktor yang Mempengaruhi Perilaku
Faktor genetik atau faktor endogen
Faktor genetik atau keturunan merupakan konsepsi dasar atau modal untuk kelanjutan perkembangan perilaku makhluk hidup. Faktor genetik berasal dari dalam diri individu (endogen).
1.      Jenis ras, setiap ras di dunia memiliki perilaku yang spesifik, saling berbeda satu dengan lainnya.
Tiga komponen ras terbesar.
a.    Ras kulit putih atau ras Kaukasia, ciri-ciri fisik: warna kulit putih, bermata biru, berambut pirang. Perilaku yang dominan: terbuka, senang akan kemajuan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
b.   Ras kulit hitam atau ras Negroid, ciri-ciri fisik: berkulit hitam, berambut keriting, dan bermata hitam. Perilaku yang dominan: tabiatnya keras, tahan menderita, dan menonjol dalam kegiatan olahraga berat.
c.    Ras kulit kuning atau ras Mongoloid, cirri-ciri fisik: berkulit kuning, berambut lurus, dan bermata coklat. Perilaku yang dominan: keramah tamahan, suka bergotong royong, tertutup dan senang dengan upacara ritual.
2.    Jenis kelamin perbedaan perilaku pria dan wanita dapat dilihat dari cara berpakaian dan melakukan pekerjaan sehari-hari. Pria berperilaku atas dasar rasional atau akal, sedangkan wanita atas dasar pertimbangan emosional.
2.6.4             Bentuk Perilaku
Secara garis besar perilaku ada dua macam.
1.  Perilaku pasif (respon internal)
Perilaku yang sifatnya masih tertutup, terjadi dalam diri individu dan tidak dapat diamati secara langsung. Perilaku ini sebatas sikap belum ada tindakan yang nyata.
2.  Perilaku aktif (respon eksternal)
Perilaku yang sifatnya terbuka. Perilaku aktif adalah perilaku yang dapat diamati langsung, berupa tindakan yang nyata.

2.7                   Definisi Kelompok
Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu dengan yang lain, saling bergantung dan mempunyai norma yang lain, saling bergantung dan mempunyai norma yang sama (Struart & Laraia, 2001 dalam Keliat, 2012:3). Anggota kelompok mungkin datang dari berbagai latar belakang yang harus ditangani sesuai dengan keadaannya, seperti agresif, takut, kompetitif, kesamaaan, ketidaksamaan, kesukaan, dan menarik (Yalom, 1995 dalam Stuart & Laria, 2001 dalam Keliat, 2012:3).

2.7.1              Tujuan dan Fungsi Kelompok
Tujuan kelompok adalah membantu anggotanya berhubungan dengan orang lain serta mengubah perilaku yang destruktif dan maladaptif. Kekuatan kelompok ada pada kontribusi dari setiap anggota dan pemimpin dalam mencapai tujuannya. Kelompok berfungsi sebagai tempat berbagai tempat berbagi pengalaman dan saling membantu satu sama lain, untuk menemukan cara menyelesaikan masalah. Kelompok merupakan laboratorium tempat mencoba dan menemukan hubungan interpersonal yang baik, serta mengembangkan perilaku yang adaptif (Keliat, 2012:3).

2.7.2             Komponen Kelompok
Kelompok terdiri dari delapan aspek, sebagai berikut (Stuart & Laraia, 2001 dalam Keliat, 2012:4).
1.    Struktur Kelompok
Struktur kelompok menjelaskan batasan, komunikasi, proses pengambilan keputusan, dan hubungan otoritas dalam kelompok. Struktur kelompok menjaga stabilitas dan membantu pengaturan pola perilaku dan interaksi. Struktur dalam kelompok diatur dengan adanya pemimpin dan anggota, arah komunikasi dipandu oleh pemimpin, sedangkan keputusan diambil secara bersama.
2.    Besar Kelompok
Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil yang anggotanya berkisar antara 10-12 menurut Lancester (1980), sedangkan menurut Stuart dan Laraia (2001) adalah 7-10 orang. Jika anggota kelompok terlalu besar akibatnya tidak semua anggota mendapat kesempatan mengungkapkan perasaan, pendapat dan pengalamannya. Jika terlalu kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi yang terjadi.
3.    Lamanya Sesi
Waktu yang optimal untuk satu sesi adalah 20-40 menit bagi fungsi kelompok yang rendah dan 60-120 menit bagi fungsi kelompok yang tinggi (Stuart & Laraia, 2001). Biasanya dimulai dengan pemanasan berupa orientasi, kemudian tahap kerja, dan finishing berupa terminasi.
4.    Komunikasi
Salah satu tugas pemimpin kelompok yang penting adalah mengobservasi dan menganalisis pola komunikasi dalam kelompok. Pemimpin menggunakan umpan balik untuk memberi kesadaran pada anggota kelompok terhadap dinamika yang terjadi.
5.    Peran Kelompok
Pemimpin perlu mengobservasi peran yang terjadi dalam kelompok, ada tiga peran dan fungsi kelompok yang ditampilkan anggota kelompok dalam kerja kelompok, yaitu (Beme & Sheats, 1948 dalam Stuart & Laraia, 2001) maintenance roles, task roles, dan individual role. Maintenance roles, yaitu peran serta aktif dalam proses kelompok dan fungsi kelompok. Task roles, yaitu fokus pada penyelesaian tugas. Individual roles adalah self-centered dan distraksi pada kelompok.
6.    Kekuatan Kelompok
Kekuatan (power) adalah kemampuan anggota kelompok dalam mempengaruhi berjalannya kegiatan kelompok. Untuk menetapkan kekuatan anggota kelompok yang bervariasi diperlukan kajian siapa yang paling banyak mendengar, dan siapa yang membuat keputusan dalam kelompok.
7.    Norma Kelompok
Norma adalah standar perilaku yang ada dalam kelompok. Pengharapan terhadap perilaku kelompok pada masa yang akan datang berdasarkan pengalaman masa lalu dan sat ini. Pemahaman tentang norma kelompok berguna untuk mengetahui pengaruhnya terhadap komunikasi dan interaksi dalam kelompok.
8.    Kekohesifan
Kekohefisian adalah kekuatan anggota kelompok bekerja sama dalam mencapai tujuan. Hal ini mempengaruhi anggota kelompok untuk tetap betah dalam kelompok. Apa yang membuat anggota kelompok tertarik dan puas terhadap kelompok, perlu di identifikasi agar kehidupan kelompok dapat dipertahankan.



2.8          Definisi Terapi Aktivitas Kelompok
Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu tindakan keperawatan untuk pasien gangguan jiwa. Pelaksanaan terapi ini merupakan tanggung jawab penuh dari seorang perawat (Keliat, 2010:82). Klien dibantu untuk melakukan sosialisasi dengan individu yang ada disekitar klien. Sosialisasi dapat pula dilakukan dengan secara bertahap dari interpersonal (satu dan satu), kelompok dan masa. Aktivitas dapat berupa latihan sosialisasi dalam kelompok (Keliat, 2012:13). Terapi aktivitas kelompok terdiri atas 7-10 orang sedangkan menurut Lancester (1980) jumlah kelompok kecil berjumlah 10-12 orang (Keliat, 2012:5). Bertujuan untuk meningkatkan kebersamaan, bersosialisasi, bertukar pengalaman dan mengubah perilaku. Dalam terapi ini dibutuhkan leader, co-leader dan fasilitator (Maryam, 2008:159). Terapi aktivitas kelompok adalah kegiatan yang diberikan pada sekelompok orang atau klien dengan maksud memberikan fungsi terapi dan rehabilitasi bagi anggotanya, dimana klien berkesempatan untuk menerima dan memberikan umpan balik terhadap klien lain, mencoba meningkatkan respon sosial dan harga dirinya. Dalam pelaksanaannya sebaikanya terapi aktivitas kelompok dilakukan dengan jumlah angota sebanyak 7-10 orang dan lamanya aktivitas 45-60 menit (Keliat, 2012:3)
.
2.8.1       Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi
Terapi aktifitas kelompok (TAK): sosialisasi (TAKS) adalah upaya memfasilitasi kemampuan sosialisasi sejumlah klien dengan masalah hubungan sosial (Keliat, 2012:16).
1.    Tujuan
a.    Tujuan Umum TAKS
Pasien dapat meningkatkan hubungan sosial dalam kelompok secara bertahap
b.    Tujuan Khusus, yaitu:
1)   klien mampu memperkenalkan diri;
2)   klien mampu berkenalan dengan anggota kelompok;
3)   klien mampu bercakap-cakap dengan anggota kelompok;
4)   klien mampu menyampaikan dan membicarakan topik percakapan;
5)   klien mampu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi pada orang lain;
6)   klien mampu bekerjasama dalam permaianan sosialisasi kelompok;
7)   klien mampu menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi yang telah dilakukan.

2.    Indikasi
Aktivitas TAKS dilakukan dua sesi yang melatih kemampuan sosialisasi klien. Klien yang mempunyai indikasi TAKS adalah klien dengan gangguan hubungan sosial berikut.
a.    Klien isolasi sosial yang telah mulai melakukan interaksi interpersonal.
b.    Klien kesulitan komunikasi verbal yang telah berespon sesuai dengan stimulus
.
2.8.2       Aktivitas Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi
1.        Sesi 1 : Kemampuan memperkenalkan diri.
2.        Sesi 2 : Kemampuan berkenalan.
3.        Sesi 3 : Kemampuan bercakap-cakap.
4.        Sesi 4 : Kemampuan bercakap-cakap topik tertentu.
5.        Sesi 5 : Kemampuan bercakap-cakap masalah pribadi.
6.        Sesi 6 : Kemampuan bekerja sama.
7.        Sesi 7 : Evaluasi kemampuan sosialiasi.

2.8.3       Proses pelaksanaan terapi aktivitas kelompok sosialisasi  sesi 1 (kemampuan memperkenalkan diri).

1.    Tujuan
Klien mampu memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap, nama panggilan, asal, dan hobi.
2.    Setting
a.    Klien dan perawat duduk bersama dalam lingkaran.
b.    Rungan nyaman dan tenang.
3.    Alat
a.    Tape recorder
b.    Kaset
c.    Bola tenis
4.    Metode
a.    Dinamika kelompok
b.    Diskusi dan tanya jawab
c.    Bermain peran/simulasi
5.    Langkah kegiatan
a.    Persiapan, yaitu:
1)   memilih klien sesuai indikasi, yaitu isolasi sosial/menarik diri
2)   membuat kontrak dengan klien
3)   mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
b.    Orientasi
Pada tahap ini perawat melakukan hal-hal sebagai berikut:
1)   memberi salam terapeutik : salam dari perawat
2)   evaluasi/validasi : menanyakan perasaan klien saat ini
3)   kontrak yang akan dilakukan, yaitu:
a)   menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu memperkenalkan diri
b)   menjelaskan aturan main sebagai berikut yaitu:
(1)   jika ada peserta yang akan meninggalkan kelompok, harus meminta izin kepada perawat;
(2)   lama kegiatan 45 menit
(3)   setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
c.    Tahap kerja sebagai berikut:
1)   jelaskan kegiatan, yaitu kaset pada tape recorder akan dihidupkan serta bola akan diedarkan berlawanan dengan arah jarum jam (yaitu kearah kiri) dan pada saat tape dimatikan maka anggota kelompok yang memegang bola memperkenalkan dirinya
2)   hidupkan kaset pada tape recorder dan edarkan bola tenis berlawanan dengan arah jarum jam
3)   saat tape dimatikan, anggota kelompok yang memegang bola  mendapat giliran untuk menyebutkan : salam, nama lengkap, nama pangilan, hobi, asal, dimulai oleh perawat sebagai contoh
4)   tulis nama panggilan pada kertas atau papan nama dan tempel/pakai
5)   ulangi kegiatan tersebut sampai semua anggota kelompok mendapat giliran
6)   beri pujian untuk setiap keberhasilan anggota kelompok dengan memberi tepuk tangan.
d.   Tahap terminasi, yaitu:
1)   evaluasi, yaitu:
a)   menanyakan perasaan klien setelah mengikuti terapi.
b)   memberi pujian atas keberhasilan kelompok.
2)   rencana tindak lanjut yaitu sebagai berikut:
a)   menganjurkan tiap anggota kelompok melatih memperkenaklan diri kepada orang lain dikehidupan sehari-hari
3)   kontrak yang akan datang, yaitu:
a)   menyepakati kegiaatan berikutnya, yaitu berkenalan dengan anggota kelompok
b)   Menyepakati waktu dan tempat.


2.8.4       Proses pelaksanaan terapi aktivitas kelompok sosialisasi sesi 2 (kemampuan berkenalan).
1.    Tujuan
Klien mampu berkenalan dengan anggota kelompok.
a.    Memperkenalkan diri sendiri: nama lengkap, nama panggilan, asal, dan hobi.
b.    Menanyakan diri anggota kelompok lain: nama lengkap, nama panggilan, asal dan hobi.
2.    Setting
a.    Klien dan perawat duduk bersama dalam lingkaran.
b.    Ruangan nyaman dan tenang.
3.    Alat
a.    Tape recorder.
b.    Kaset.
c.    Bola tenis.
4.    Metode
a.    Dinamika kelompok.
b.    Diskusi dan tanya jawab.
c.    Bermain peran/simulasi.
5.    Langkah kegiatan
a.    Persiapan, yaitu:
1)   mengingatkan kontrak dengan anggota yang telah mengikuti sesi 1 TAKS
2)   mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
b.    Orientasi
Pada tahap ini terapis melakukan sebagai berikut:
1)   memberi salam terapeutik, yaitu:
a)   salam terapeutik
b)   peserta dan perawat memakai papan nama

2)   evaluasi/validasi, yaitu:
a)   menanyakan perasaan klien saat ini
b)   menanyakan apakah telah mencoba memperkenalkan diri pada orang lain.
3)   kontrak yang akan dilakukan seperti berikut:
a)   menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu berkenalan dengan anggota kelompok
b)   menjelaskan aturan main sebagai berikut:
(1)   jika ada peserta yang akan meninggalkan kelompok, harus meminta izin kepada perawat;
(2)   lama kegiatan 45 menit
(3)   setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
c.    Tahap kerja, sebagai berikut:
1)   hidupkan kaset pada tape recorder dan edarkan bola tenis berlawanan dengan arah jarum jam;
2)   pada saat tape dimatikan, anggota kelompok yang memegang bola dan mendapat giliran untuk berkenalan dengan anggota kelompok yang ada disebelah kanan dengan cara sebagai berikut:
a)   memberi salam
b)   menyebutkan nama lengkap, nama panggilan, asal, hobi
c)   menanyakan nama lengkap, nama panggilan, asal, dan hobi lawan bicara
d)  dimulai oleh perawat sebagai contoh
3)   ulangi kegiatan sampai semua anggota kelompok mendapat giliran
4)   hidupkan kembali tape recorder dan edarkan bola. Pada saat tape dimatikan, minta pada anggota kelompok yang memegang bola untuk memperkenalkan anggota kelompok yang disebelah kananya kepada kelompok, yaitu : nama lengkap, nama panggilan, asal, dan hobi. Dimulai oleh terapis sebagai contoh
5)   ulangi kegiatan sampai anggota kelompok mendapat giliran
6)   beri pujian untuk setiap keberhasilan anggota kelompok dengan memberi tepuk tangan.
d.   Tahap terminasi, yaitu:
1)   evaluasi, yaitu:
a)   menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK
b)   memberi pujian atas keberhasilan kelompok.
2)   rencana tindak lanjut, yaitu:
a)   menganjurkan tiap anggota kelompok latihan berkenalan.
3) kontrak yang akan datang, yaitu:
a)   menyepakati kegiatan berikut, yaitu dengan bercakap-cakap dengan kehidupan pribadi
b)   menyepakati waktu dan tepat.

2.8.5       Proses pelaksanaan terapi aktivitas kelompok sosialisasi sesi 3 (kemampuan bercakap-cakap).
1.      Tujuan
Klien mampu bercakap-cakap dengan anggota kelompok.
a.    Menanyakan kehidupan pribadi kepada satu orang kelompok.
b.   Menjawab pertanyaan tentang kehidupan pribadi.
2.   Setting
a.   Klien dan perawat duduk bersama dalam lingkaran.
b.  Ruangan nyaman dan tenang.
3.   Alat
a.   Tape recorder.
b.  Kaset.
c.   Bola tenis.
4.   Metode
a.   Dinamika kelompok.
b.  Diskusi dan tanya jawab.
c.   Bermain peran/simulasi.
5.   Langkah kegiatan
a.   Persiapan, yaitu:
1)   mengingatkan kontrak dengan anggota yang telah mengikuti sesi 2 TAKS
2)   mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
b.  Orientasi
Pada tahap ini terapis melakukan sebagai berikut:
1)                 memberi salam terapeutik, yaitu:
a)    salam terapeutik
b)   peserta dan perawat memakai papan nama.
2)  evaluasi/validasi, yaitu:
a)    menanyakan perasaan klien saat ini
b)   menanyakan apakah pasien telah mencoba berkenalan dengan orang lain.
3)  kontrak yang akan dilakukan seperti berikut:
a)    menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu bertanya dan menjawab tentang kehidupan pribadi
b)   menjelaskan aturan main sebagai berikut:
(1)   jika ada peserta yang akan meninggalkan kelompok, harus meminta izin kepada perawat
(2)   lama kegiatan 45 menit
(3)   setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
c.    Tahap kerja, sebagai berikut:
1)   hidupkan kaset pada tape recorder dan edarkan bola tenis berlawanan dengan arah jarum jam
2)   pada saat tape dimatikan, anggota kelompok yang memegang bola dan mendapat giliran untuk bertanya tentang kehidupan pribadi anggota kelompok disebelah kanan dengan cara:
a)    memberi salam
b)   memanggil nama panggilan
c)   menanyakan kehidupan pribadi: orang dekat, dipercayai, disegani
d)  dimulai oleh perawat sebagai contoh.
3)   ulangi kegiatan sampai semua anggota kelompok mendapat giliran;
4)   beri pujian untuk setiap keberhasilan anggota kelompok dengan memberi tepuk tangan.
d.   Tahap terminasi, yaitu:
1)      evaluasi, yaitu:
a)   menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAKS
b)   memberi pujian atas keberhasilan kelompok.
2)   rencana tindak lanjut, yaitu:
a)   menganjurkan tiap anggota kelompok bercakap-cakap tentang kehdupan pribadi.
3) kontrak yang akan datang, yaitu:
a)   menyepakati kegiatan berikut, yaitu menyampaikan dan membicarakan topik pembicaraan tertentu
b)   menyepakati waktu dan tepat.

2.8.6       Proses pelaksanaan terapi aktivitas kelompok sosialisasi sesi 4 (kemampuan menyampaikan dan membicarakan topik percakapan).
1.      Tujuan
Klien mampu menyampaikan topik pembicaraan tertentu dengan anggota kelompok.
a.    Menyampaikan topik yang ingin dibicarakan.
b.   Memilih topik yang ingin dibicarakan.
c.    Memberi pendapat tentang topik yang dipilih.
2.   Setting
a.   Klien dan perawat duduk bersama dalam lingkaran.
b.  Ruangan nyaman dan tenang.
3.   Alat
a.   Tape recorder.
b.  Kaset.
c.   Bola tenis.
d.  Flipchart/whiteboard dan spidol.

4.   Metode
a.   Dinamika kelompok.
b.  Diskusi dan tanya jawab.
c.   Bermain peran/simulasi.
5.   Langkah kegiatan
a.   Persiapan, yaitu:
1)         mengingatkan kontrak dengan anggota yang telah mengikuti sesi 3 TAKS
2)   memperiapkan alat dan tempat pertemuan.
b.  Orientasi
Pada tahap ini terapis melakukan sebagai berikut:
1)                 memberi salam terapeutik, yaitu:
a)    salam terapeutik
b)   peserta dan perawat memakai papan nama.
2)  evaluasi/validasi, yaitu:
a)    menanyakan perasaan klien saat ini
b)   menanyakan apakah pasien telah latihan berckap-cakap dengan orang lain.
3)  kontrak yang akan dilakukan seperti berikut:
a)    menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu menyampaikan, memilih, dan memberi pendapat tentang topik percakapan
b)   menjelaskan aturan main sebagai berikut:
(1)   jika ada peserta yang akan meninggalkan kelompok, harus meminta izin kepada perawat
(2)   lama kegiatan 45 menit
(3)   setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.

c.   Tahap kerja, sebagai berikut:
1)   hidupkan kaset pada tape recorder dan edarkan bola tenis berlawanan dengan arah jarum jam
2)   pada saat tape dimatikan, anggota kelompok yang memegang bola dan mendapat giliran untuk menyampaikan satu topik yang ingin dibicarakan. Dimulai oleh perawat sebagai contoh. Mislanya, “cara bicara yang baik” atau “cara mencari teman”
3)   tuliskan pada flipchart/whiteboard topik yang disampaikan secara berurutan
4)   ulangi kegiatan sampai semua anggota kelompok mendapat giliran;
5)   hidupakan lagi kaset dan edarkan bola tenis. Pada saat dimatikan, anggota yang memegang bola memilih topik yang disukai untuk dibicarakan dari daftar yang ada
6)   ulangi kegiatan tersebut sampai anggota kelompok memilih topik;
7)   perawat membantu menetapkan topik yang paling banyak dipilih;
8)   hidupkan lagi kaset dan edarkan bola tenis. Pada saat dimatikan, anggota yang memegang bola menyampaikan pendapat tentang topik yang dipilih
9)   ulangi kegiatan tersebut sampai semua anggota kelompok menyampaikan pendapat
10) beri pujian untuk tiap keberhasilan angota kelompok dengan memberi tepuk tangan.
d.  Tahap terminasi, yaitu:
1)      evaluasi, yaitu:
a)   menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAKS
b)   memberi pujian atas keberhasilan kelompok.
2)   rencana tindak lanjut, yaitu:
a)   menganjurkan tiap anggota kelompok bercakap-cakap tentang topik tertentu dengan orang lain pada kehidupan sehari-hari


3) kontrak yang akan datang, yaitu:
a)   menyepakati kegiatan berikut, yaitu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi
b)   menyepakati waktu dan tepat.

2.8.7       Proses pelaksanaan terapi aktivitas kelompok sosialisasi sesi 5 (kemampuan menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi pada orang lain).
1.      Tujuan
Klien mampu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi dengan orang lain.
a.    Menyampaikan masalah pribadi.
b.   Memilih satu masalah untuk dibicarakan.
c.    Memberi pendapat tentang masalah pribadi yang dipilih.
2.   Setting
a.   Klien dan perawat duduk bersama dalam lingkaran.
b.  Ruangan nyaman dan tenang.
3.   Alat
a.   Tape recorder.
b.  Kaset.
c.   Bola tenis.
d.  Flipchart/whiteboard dan spidol.
4.   Metode
a.   Dinamika kelompok.
b.  Diskusi dan tanya jawab.
c.   Bermain peran/simulasi.
5.   Langkah kegiatan
a.   Persiapan, yaitu:
1)   mengingatkan kontrak dengan anggota yang telah mengikuti sesi 4 TAKS
2)   memperiapkan alat dan tempat pertemuan.
b.  Orientasi
Pada tahap ini terapis melakukan sebagai berikut:
1)                 memberi salam terapeutik, yaitu:
a)    salam terapeutik
b)   peserta dan perawat memakai papan nama.
2)  evaluasi/validasi, yaitu:
a)    menanyakan perasaan klien saat ini
b)   menanyakan apakah telah latihan bercakap-cakap tentang topik/hal tertentu dengan orang lain.
3)  kontrak yang akan dilakukan seperti berikut:
a)    menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu bertanya dan menjawab tentang kehidupan pribadi
b)   menjelaskan aturan main sebagai berikut:
(1)   jika ada peserta yang akan meninggalkan kelompok, harus meminta izin kepada perawat
(2)   lama kegiatan 45 menit
(3)   setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
c.   Tahap kerja, sebagai berikut:
1)   hidupkan kaset pada tape recorder dan edarkan bola tenis berlawanan dengan arah jarum jam
2)   pada saat tape dimatikan, anggota kelompok yang memegang bola dan mendapat giliran untuk menyampaikan suatu masalah pribadi yang ingin dibicarakan. Dimulai oleh perawat sebagai contoh. Misalnya, “sulit bercerita” atau “tidak diperhatikan ayah/ibu/kakak/teman”
3)   tulisakan pada flipchart/whiteboard masalah yang disampaikan;
4)   ulangi kegiatan sampai semua anggota kelompok menyampaikan masalah yang ingin dibicarakan;
5)   hidupkan lagi kaset dan edarkan bola tenis. Pada saat dimatikan, anggota kelompok yang memegang bola memlilih masalah yang ingin dibicarakan;
6)   ulangi kegiatan sampai semua anggota kelompok memilih masalah yang ingin dibicarakan
7)   perawat membantu menetapkan topik yang paling banyak dipilih
8)   hidupkan lagi kaset dan edarkan bola tenis. Pada saat dimatikan, anggota kelompok yang memegang bola meyampaikan pendapat tentang masalah yang dipilih
9)   ulangi kegiatan sampai semua anggota kelompok menyampaikan pendapat
10) beri pujian untuk setiap keberhasilan anggota kelompok dengan memberi tepuk tangan.
d.  Tahap terminasi, yaitu:
3)      evaluasi, yaitu:
a)   menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAKS
b)   memberi pujian atas keberhasilan kelompok.
4)   rencana tindak lanjut, yaitu:
b)   menganjurkan tiap anggota kelompok bercakap-cakap tentang masalah pribadi dengan orang lain pada kehidupan sehari-hari.








BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1       Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan kepada 23 responden di Klinik Jiwa dan Rehabilitasi Mental Primaguna Tangerang Selatan dari hasil uji analisis data menunjukan bahwa Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi yang dilakukan selama 45 menit setiap sesinya menunjukan perbedaan yang signifikan terhadap perilaku pasien isolasi sosial sesudah dilakukan terapi aktivitas kelompok sosialisasi. Hal ini dapat di buktikan dengan data yang di peroleh dari hasil uji analisis sebagai berikut.

3.1.1    Sebelum terapi aktivitas kelompok sosialisasi perilaku pasien isolasi sosial menunjukan perilaku sangat tidak baik sebanyak  69,6% dan perilaku tidak baik sebanyak 30,4%, perilaku baik sebanyak 0% dan perilaku sangat baik sebanyak 0%.
3.1.2    Sesudah terapi aktivitas kelompok sosialisasi perilaku pasien isolasi sosial menunjukan perilaku sangat baik sebanyak 56,5%, perilaku baik sebanyak 39,1% perilaku tidak baik sebanyak 4,4% dan perilaku sangat tidak baik sebanyak 8,7%.
3.1.3    Terdapat perbedaan yang bermakna pada perilaku pasien isolasi sosial sesudah dilakukan terapi aktivitas kelompok dengan angka significancy 0,000 karena P (Sig) ≤ α (0,05) pada taraf signifikan 5% maka Ho ditolak.

3.2       Saran
Beberapa saran yang dianjurkan berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian tentang “Perbedaan Perilaku Pasien Isolasi Sosial Sesudah dilakukan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi di Klinik Jiwa & rehabilitasi Mental Primaguna Tangerang Selatan Tahun 2013”.


3.2.1    Bagi tempat penelitian
Berdasarkan hasil penelitian diatas menunjukan bahwa terapi aktivitas kelompok sosialisasi sangat mempengruhi tingkat perbedaan perilaku pasien isolasi sosial kearah yang lebih baik, maka disarankan bagi perawat dan pihak Rumah Sakit Jiwa Dramagraha diharapakan terus melanjutkan dan meningkatkan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi yang mengkhususkan pada pasien-pasien yang mengalami isolasi sosial secara rutin dari sesi 1 sampai sesi 7 dengan menggunakan pedoman Terapi Aktivitas Kelompok yang di berikan.

3.2.2    Bagi peneliti selanjutnya
Penelitian ini dapat menjadi acuan pelaksanaan penelitian lain di tempat yang berbeda dengan menggunakan metode yang sama. Diharapkan pada peneliti selanjutnya memfokuskan pada klien yang kooperatif pada satu kelompok, terapi aktivitas kelompok sosialisasi sebaiknya dilakukan sampai 7 sesi untuk melihat perberbedaan yang signifikan pada pasien isolasi sosial dan menggunakan sampel yang lebih besar agar nantinya mendapatkan hasil yang maksimal.

3.2.3    Bagi institusi keperawatan
Terapi aktivitas kelompok sosialisasi dapat diterapkan sebagai standar terapi keperawatan jiwa yang diberikan pada klien dengan masalah isolasi sosial dan dapat dijadikan intervensi pada setiap perawatan jiwa.
3.2.4    Bagi intitusi pendidikan
Hasil penelitian yang diperoleh tentang terapi aktivitas kelompok sosialisasi yang dilaksanakan pada klien dengan isolasi sosial dapat digunakan dan dikembangkan sebagai bahan kajian untuk menambah wawasan keilmuan khususnya di bidang keperawatan jiwa serta pedoman Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi ini bisa dibuat sebagai HKI (Hak Karya Ilmiah).



















DAFTAR PUSTAKA
Azizah, M.L.2011. Keperawatan Jiwa (Aplikasi Praktik Klinik). Yogyakarta: Graha Ilmu.
Carpenito, L.J.2009. Diagnosis Keperawatan (Aplikasi pada Praktik Klinis Edisi 9). Jakarta: EGC.
Dahlan,S.2010. Mendiagnosis dan Menata Laksana 13 Penyakit Statistik. Jakarta: Sagung Seto.
Damaiyanti, M., & Iskandar.2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: Refika Aditama.
Depkes RI.2007. Riset Kesehatan Dasar. http://www.depkes.go.id
Efendi,S.2011. Pengaruh Pemberian Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi Terhadapan Perubahan Prilaku Klien Isolasi Sosial di Ruang Gelatik RS Jiwa Prof HB Sa’anin Padang, 1-8. Diperoleh Tanggal 22  November 2013 pukul 11: 20, www.thedigilib.com/doc/112053.
Elfindri., & Hasnita, E. 2011. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Baduose Media.
Hastono, S.P. 2007. Basic Data Analysis For Health Research Training Analisa Data Kesehatan. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Hidayat, A.A. 2007. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika.
Hidayati,E.2010. Pengaruh Terapi Kelompok Suportif Terhadap Kemampuan Mengatasi Perilaku Kekerasan pada Klien Skizofrenia di RSJ dr. Amino Gondohutomo Semarang, 1-9. Diperoleh Tanggal 22 november 2013 pukul 12:30 , jurnal.unimus.ac.id/index.php/psn120120/article/view/5241.

Joko.2008. Pengaruh Pemberian Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi Sesi 1 dan 2 Terhadap Perubahan Perilaku Menarik Diri Klien di Ruang Pringgodani RSJ Daerah Surakarta. Diakses pada  22 november 2013 pukul 12:20, artikel edisi 04/September/2008-januari/2009.
Keliat, B.A. & Akemat. 2009. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Keliat, B.A., & Akemat.2012. Keperawatan Jiwa Terapi Aktivitas Kelompok. Jakarta: EGC.
Luluk, Z.A, & Bandiyah, S. 2008. Psikologi Kesehatan. Jogjakarta: Mitra Cendikia.
Maryam, R.S. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba Medika.
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nasir, A., & Muhith, A. 2011. Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Pasaribu, S. 2009. Pengaruh Aktivitas Kelompok Sosialisasi Terhadap Kemampuan Komunikasi  Pasien Isolasi Sosial di Ruang Cempaka Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatra Utara Medan. Diakses pada tanggal 22 november pukul 14:45.
Sabarguna, B.S., & Yenti, T. (2012). Penelitian Operasional Untuk Pembuatan Skripsi. Jakarta: Nulis Buku.
Siskayanti, A.,Nugroho, A., & Hartoyo, M. 2011. Pengaruh Terapi Komunikasi Terapeutik Terhadap Kemampuan Berinteraksi Klien Sosial di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang, 1-6. Diperoleh Tanggal 24 November 2013 pukul 18:30.