PERBEDAAN
PERILAKU PASIEN ISOLASI SOSIAL SESUDAH
DILAKUKAN TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK
MAKALAH
Diajukan Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Bahasa Indonesia
Disusun Oleh
Nama :HANA
FEBRIYANTI
Nim :
130210068
Kelas :
REGULER
Program Studi :S1
KEPERAWATAN
Semester :
1A
SEKOLAH
TINGGI ILMU KESEHATAN BANTEN
JL.RAWA
BUNTU NO.10
BSD
CITY SERPONG 15318
TELP
: 021-75871241/75871245
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Sehat mental adalah penyesuaian manusia terhadap
lingkungannya dan orang-orang lain dengan keefektifan dan kebahagiaan yang
optimal, dalam mental yang sehat terdapat kemampuan untuk memelihara
intelegensi yang siap digunakan. Perilaku yang dipertimbangkan secara sosial,
dan disposisi yang bahagia (Karl Menninger dalam Lukluk dan Bandiyah, 2008:56).
Sehat
menurut WHO adalah keadaan yang sempurna baik fisik, mental maupun sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit atau
kelemahan, tidak hanya terbebas dari penyakit serta kelemahan (Videbeck, 2008:3). Dalam definisi
tersebut jelas bahwa sehat bukan hanya terbebas dari penyakit atau cacat. Orang
yang tidak berpenyakit pun
belum tentu dikatakan sehat. Seseorang dikatakan sehat jika ia dalam keadaan
yang sempurna baik fisik, mental maupun sosial, dengan demikian seseorang dikatakan sehat jiwa
apabila mampu mengendalikan diri dalam menghadapi stressor di lingkungan
sekitar dengan selalu berfikir positif dalam keselarasan tanpa adanya tekanan
fisik dan psikologis, baik secara internal maupun eksternal yang mengarah pada
kestabilan emosional (Nasir dan Muhith, 2011:2).
Dalam perkembangan
dan pembangunan dunia akhir-akhir ini yang ditandai dengan modernisasi,
industrialisasi dan globalisasi, akan banyak membawa perubahan dalam kehidupan
yang bisa menimbulkan stressor bagi seseorang, dengan tingginya stressor itu
diperkirakan gangguan jiwa akan semakin meningkat, hal ini akan menimbulkan
masalah karena penderitanya akan menjadi tidak produktif dan akan bergantung
pada orang lain. Masalah gangguan jiwa memang tidak menyebabkan kematian secara
langsung, namun akan menyebabkan penderitaan yang berkepanjangan bagi individu,
masyarakat dan keluarga. Menurut
(American Psychiatric Association, 1994 dalam Videbeck, 2008:4) gangguan jiwa
adalah suatu sindrom atau pola psikologis atau perilaku yang penting secara
klinis yang terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan adanya distress atau
sangat kehilangan kebebasan. Gangguan jiwa merupakan manifestasi dari bentuk
penyimpangan perilaku akibat adanya distorsi emosi sehingga ditemukan
ketidakwajaran dalam bertingkah laku. Hal ini terjadi karena menurunnya semua
fungsi kejiwaan (Nasir dan
Muhith, 2011:8).
Gambaran menurut
penelitian WHO (2009), prevalensi masalah kesehatan jiwa saat ini cukup tinggi,
sekitar 10% orang dewasa mengalami gangguan jiwa saat ini dan 25% penduduk
dunia diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu hidupnya.
Usia ini biasanya terjadi pada dewasa muda antara 18-20 tahun 1% diantaranya
adalah gangguan jiwa berat, potensi seseorang mudah terserang gangguan jiwa
memang tinggi, setiap saat 450 juta orang diseluruh dunia terkena dampak permasalahan
jiwa, saraf maupun perilaku. Salah satu
bentuk gangguan jiwa yang paling banyak terjadi di seluruh dunia adalah
gangguan jiwa skizofrenia. Prevalensi skizofrenia didunia 0,1 per mil dengan
tanpa memandang perbedaan status sosial atau budaya (Varcarolis and Halter 2010
dalam Efendi, 2011). Menurut National Institute of Mental Health gangguan jiwa
mencapai 13% dari penyakit secara keseluruhan dan diperkirakan akan berkembang
menjadi 25% di tahun 2030. Kejadian tersebut akan memberikan andil meningkatnya
prevalensi gangguan jiwa dari tahun ke tahun di berbagai Negara. Berdasarkan
hasil sensus penduduk Amerika Serikat tahun 2004, diperkirakan 26,2% penduduk
yang berusia 18-30 tahun atau lebih mengalami gangguan jiwa, jika prevalensi
gangguan jiwa diatas 100 jiwa per 1000 penduduk dunia, maka berarti di
Indonesia mencapai 264 per 1000 penduduk. (NIMH, 2011) yang dikutip oleh
(Hidayati, 2012).
Hasil Riset Dasar Kesehatan
Nasional Tahun 2007, menyebutkan bahwa sebanyak 0,46 per mil masyarakat
Indonesia mengalami gangguan jiwa berat. Mereka adalah yang diketahui mengidap
skizofrenia dan mengalami gangguan psikotik berat (Depkes RI, 2007).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (2007), dengan kata lain menunjukan bahwa
gangguan jiwa secara Nasional mencapai 5,6% dari jumlah penduduk, hal tersebut
menunjukan bahwa pada setiap 1000 orang penduduk terdapat empat atau lima orang
menderita gangguan jiwa. Berdasarkan dari hasil tersebut bahwa data pertahun di
Indonesia yang mengalami gangguan jiwa selalu meningkat. (Hidayati, 2012).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementrian Kesehatan tahun 2007 juga
diketahui bahwa masalah kesehatan jiwa di Indonesia dengan Gangguan Mental
Emosional (Depresi dan Ansietas) sebesar 11,6% atau sekitar 19 juta orang dan
Gangguan Jiwa Berat (Psikosis) sebesar 0,46% sekitar 1 juta orang. Prevalensi
gangguan jiwa tertinggi di Indonesia terdapat di Provisi Daerah Khusus Ibu Kota
Jakarta (24,3%), di ikuti Nangroe Aceh Darussalam (18,5%), Sumatra Barat (17,7%),
NTB (10,9%), Sumatera Selatan (9,2%), dan Jawa Tengah (6,8%). (Depkes RI, 2008)
yang dikutip oleh (Eni Hidayati, 2012).
Kebijakan Pemerintah dalam
menangani pasien gangguan jiwa tercantum dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009
tentang kesehatan jiwa, disebutkan dalam pasal 149 ayat (2) mengatakan bahwa
Pemerintah dan masyarakat wajib melakukan pengobatan dan perawatan di fasilitas
pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang,
mengancam keselamatan dirinya dan mengganggu ketertiban atau keamanan umum,
termasuk pembiayaan pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa untuk
masyarakat miskin. Salah satu masalah gangguan jiwa yang kejadiannya cukup
banyak terjadi saat ini di Yogyakarta adalah isolasi sosial yang masuk dalam
katagori ketiga setelah halusinasi (Wiastuti, 2011).
Manusia sebagai makhluk sosial
membutuhkan orang lain dan lingkungan sosial dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari-hari. Manusia tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa ada
hubungan dengan lingkungan sosialnya. Dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya,
manusia perlu membina hubungan interpersonal untuk mencapai kepuasan hidup
(Trimelia, 2011:2). Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu
mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan
orang lain disekitarnya, pasien mungkin merasa ditolak, kesepian dan tidak
mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain Keliat (2005) yang
dikutip dari Efendi (2011). Menurut NANDA (2007) yang dikutip dari Wiastuti
(2011) yang menyebutkan bahwa pasien yang mengalami isolasi sosial secara
langsung akan mengekspresikan perasaan kesendirian, perasaan penolakan, minat
tidak sesuai dengan umur perkembangan, tujuan hidup tidak ada atau tidak
adekuat, tidak mampu memenuhi harapan orang lain. Dampak yang dapat ditimbulkan oleh isolasi sosial adalah, gangguan hubungan
interpersonal dan gangguan interaksi sosial. Bila klien isolasi sosial (menarik
diri) tidak cepat teratasi maka akan dapat membahayakan keselamatan diri sendiri
maupun orang lain (Kelliat, 2006).
Menurut Stuart and Sundeen (2006) dalam Efendi (2011) individu dalam situsi
seperti ini harus diarahkan pada respon perilaku dan interaksi sosial yang
optimal melalui terapi modalitas, diantaranya adalah Terapi Aktivitas Kelompok
Sosialisasi.
Menurut hasil penelitian Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi oleh
Rika (2012) menunjukan perubahan yang signifikan antara sebelum dan sesudah
dilakukan Terapi Aktivitas kelompok sosialisasi 1, 2 dan 3, dari nilai
rata-rata sebelum dilakukan terapi adalah 10,58 dan nilai rata-rata sesudah
dilakukan terapi adalah 13,52. Terdapat peningkatan yang bermakna pada
perubahan perilaku isolasi sosial sesudah dilakukan terapi aktivitas kelompok
dengan P value 0,000 karena P value ≤ 0,05 pada taraf signifikan 5% maka Ha
diterima.
Penelitian menurut Wiastuti (2011) didapatkan data
sesudah perlakuan dari 15 responden (100%) memiliki kemampuan sosialisasi baik.
Hasil pengukuran dari 11 responden yang memiliki kemampuan sosialisasi cukup
mengalami peningkatan kemampuan sosialisasi menjadi baik dan 4 responden yang
memiliki kemampuan sosisalisasi menjadi baik. Hasil pengukuran kemampuan
sosialisasi tersebut menunjukan bahwa dengan adanya pemberian Terapi Aktivitas
Kelompok Sosialisasi berpengaruh terhadap kemampuan sosialisasi pada pasien
isolasi sosial. Hasil penelitian tersebut juga diperkuat dengan penelitian yang
dilakukan Sudjarwo (2006), hasil penelitian menunjukan bahwa Terapi Aktivitas
Kelompok Sosialisasi meningkatkan kemampuan komunikasi verbal pasien isolasi
sosial, serta penelitian yang dilakukan oleh Setya, T (2009), didapatkan adanya
pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi terhadap kemampuan berinteraksi
pada pasien isolasi sosisal di Rumah Sakit Jiwa Pusat Dr. Soeharto Heerdjan
Jakarta. Sedangkan peneliti Joko (2009) di RS Surakarta menyatakan bahwa ada
pengaruh yang signifikan pelaksanaan Terapi Aktifitas Kelompok Sosialisasi sesi
satu dan dua terhadap perubahan perilaku isolasi sosial.
Hasil studi
pendahuluan yang peneliti laksanakan di Klinik Primaguna Tangerang Selatan,
Kepala Klinik menjelaskan jumlah pasien terdiri dari laki-laki 27 jiwa dan
perempuan 16 jiwa yang tinggal di Klinik tersebut, karakteristik pasien yang
berada dalam Klinik tersebut beragam dan memiliki diagnosa medis yang
bermacam-macam. Hasil medical record Klinik Primaguna di dapatkan dari 43
pasien jiwa, yang memiliki diagnosa keperawatan isolasi sosial sebesar 23 jiwa.
Berdasarkan hasil wawancara dengan perawat Klinik Primaguna menyatakan bahwa
belum ada peneliti yang meneliti tentang terapi aktivitas kelompok pada pasien
dengan isolasi sosial ditempat tersebut. Dari latar belakang tersebut diatas
penulis tertarik membuat penelitian untuk mengetahui apakah ada Perbedaan Perilaku Pasien Isolasi Sosial Sesudah dilakukan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi di Klinik Primaguna
Tangerang Selatan Tahun 2013.
1.2
Rumusan Masalah
Hasil
studi pendahuluan yang dilakukan di Rumah Sakit jiwa dan rehabilitasi mental Dharmagraha bahwa lebih dari 50% pasien jiwa memiliki diagnosa
keperawatan jiwa isolasi sosial. Pada pasien gangguan jiwa dengan
perilaku isolasi sosial ia tidak
memiliki motivasi, pasien mengalami harga diri rendah, tidak berharga dan tidak
berguna sehingga merasa tidak aman dalam membina hubungan dengan orang lain. Menurut
Stuart and Sundeen (2006) dalam Efendi (2011) individu dalam situsi seperti ini
harus diarahkan pada respon perilaku
dan interaksi sosial yang optimal melalui
keperawatan
yang komperhensif dan terus menerus disertai dengan terapi modalitas,
diantaranya adalah Terapi Aktivitas
Kelompok Sosialisasi. Tujuan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisai adalah
pasien dapat meningkatkan hubungan sosial dalam kelompok secara bertahap. Menurut hasil beberapa penelitian yang di lakukan
oleh Rika (2012), Efendi (2011), Wiastuti (2011), Setya (2009), Joko (2009) dan
Sudjarwo (2006) menunjukan bahwa ada pengaruh yang signifikan terhadap
perubahan perilaku pasien isolasi sosial sesudah di lakukan Terapi Aktivitas
Kelompok Sosialisasi. Melihat cukup tingginya pasien jiwa yang mengalami diagnosa isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Primaguna maka dengan pertimbangan latar belakang tersebut penulis
tertarik untuk mengangkat judul “Perbedaan Perilaku Pasien Isolasi Sosial Sesudah dilakukan Terapi Aktivitas Kelompok
Sosialisasi di Rumah Sakit Jiwa Darmagraha Tangerang Selatan Tahun
2013”.
1.3
Pertanyaan
penelitian
1.3.1
Bagaimana perilaku pasien isolasi
sosial sebelum dilakukan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi ?
1.3.2
Bagaimana perilaku pasien isolasi
sosial sesudah dilakukan Terapi Aktivitas KelompokSosialisasi ?
1.3.3
Bagaimana perbedaan perilaku pasien
isolasi sosial sebelum dan sesudah dilakukan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi ?
1.4
Tujuan
penelitian
1.4.1
Tujuan Umum
Mengetahui
perbedaan perilaku sesudah dilakukan Terapi
Aktivitas Kelompok Sosialisasi pada pasien yang mengalami isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Dramagraha
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1
Bagi Ilmu Pengetahuan
Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan dan wawasan pada
mahasiswa dibidang kesehatan dan
umumnya di Rumah Sakit
Jiwa Dramagraha khususnya.
1.5.2
Bagi Profesi Keperawatan
Penelitian
ini diharapkan dapat berfungsi sebagai acuan meningkatkan peran serta dalam
memberikan pendidikan kesehatan program Terapi Aktivitas Kelompok yaitu
pentingnya manfaat melakukan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi pada pasien
isolasi sosial.
1.5.3
Bagi Lokasi penelitian
Hasil
penelitian ini diharapakan dapat menambah bahan masukan bagi petugas kesehatan
di Rumah Sakit Jiwa Darmagraha
agar dapat meningkatkan pelaksanaan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi
dengan memperhatikan indikasi klien yang bisa di ikutsertakan
1.5.4
Bagi Peneliti Selanjutnya.
Penelitian
ini sebagai proses pembelajaran metodologi penelitian dan riset keperawatan
serta pengalaman yang berharga dalam menerapkan pengetahuan tentang Terapi
Aktivitas Kelompok Sosialisasi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Definisi
Isolasi Sosial
Isolasi sosial adalah kondisi
ketika individu atau kelompok mengalami atau merasakan kebutuhan atau keinginan
untuk lebih terlibat dalam aktivitas bersama orang lain tetapi tidak mampu
mewujudkannya. Isolasi sosial merupakan kondisi yang subjektif seluruh
kesimpulan yang dibuat berkaitan dengan perasaan sunyi yang dirasakan individu
harus divalidasi karena penyebabnya bisa bermacam-macam dan cara individu
menunjukannya beragam (Carpenito, 2009:1045). Isolasi sosial adalah keadaan dimana
seorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu
berinteraksi dengan orang lain disekitarnya (Damaiyanti, 2008:75).
Isolasi sosial juga merupakan kesepian yang dialami
oleh individu dan dirasakan saat didorong oleh keberadaan orang lain dan
sebagai pernyataan negatif atau mengancam. Isolasi sosial adalah keadaan dimana
seseorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu
berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak,
tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan
orang lain (Nanda-I, 2012:75)
Isolasi sosial merupakan upaya klien untuk menghindari
interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain maupun
komunikasi dengan orang lain (Keliat, 1998 dalam Trimelia, 2011:3). Isolasi
sosial adalah suatu gangguan hubungan interpersonal yang terjadi akibat adanya
kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku maladaptif dan
menggangu fungsi seseorang dalam hubungan sosial (Depkes RI, 2000). Isolasi
sosial merupakan upaya menghindari komunikasi dengan orang lain karena merasa
kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk berbagi rasa,
pikiran, dan kegagalan. Pasien mengalami kesulitan dalam berhubungan secara
spontan dengan orang lain yang dimanifestasikan dengan mengisolasi diri, tidak
ada perhatian dan tidak sanggup berbagi pengalaman (Yosep, 2007:14).
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu
mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan
orang lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima,
kesepian dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain
(Trimelia, 2011:3).
Seseorang dengan isolasi sosial akan
menghindari interaksi dengan orang lain.
Ia mengalami kesulitan untuk berhubungan akrab dan tidak mempunyai
kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran dan prestasi atau kegagalan. Ia
mengalami kesulitan untuk berhubungan secara spontan dengan orang lain, yang
dimanifastasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian dan tidak sanggup
membagi pengalaman dengan orang lain. Isolasi
sosial adalah mekanisme perilaku seseorang yang apabila menghadapi konflik
frustasi, ia menarik diri dari pergaulan lingkungannya (Sunaryo, 2004:226). Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu
mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan
orang lain disekitarnya, pasien mungkin merasa ditolak, diterima, kesepian dan
tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain Kliat (2005) yang
dikutip dari Efendi (2011).
2.2
Etiologi
Berbagai
faktor dapat menimbulkan respon yang maladaptif. Menurut Stuart dan Sundeen
(2007) dalam Damaiyanti dan Iskandar (2012:79), belum ada suatu kesimpulan yang
spesifik tentang penyebab gangguan yang mempengaruhi hubungan interpersonal.
Faktor yang mungkin mempengaruhi isolasi sosial adalah faktor predisposisi dan
faktor presipitasi.
2.2.1
Faktor
Predisposisi
Beberapa
faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial.
1.
Faktor perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki
tugas yang harus didahului individu dengan sukses, karena apabila tugas
perkembangan ini tidak dapat dipenuhi, akan menghambat masa perkembangan
selanjutnya. Keluarga adalah tempat pertama yang memberikan pengalaman bagi
individu dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih
sayang, perhatian dan kehangatan dari ibu atau pengasuh pada bayi akan
memberikan rasa tidak aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya
diri. Rasa ketidakpercayaan tersebut dapat mengembangkan tingkah laku curiga
pada orang lain maupun lingkungan di kemudian hari.
2.
Faktor komunikasi dalam keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga
merupakan faktor pendukung untuk terjadinya gangguan hubungan sosial, seperti
adanya komunikasi yang tidak jelas (double bind) yaitu suatu keadaan dimana
individu menerima pesan yang saling bertentangan dalam waktu bersamaan, dan
ekspresi emosi yang tinggi di setiap berkomunikasi.
3.
Faktor sosial budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor
pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh karena
norma-norma yang salah yang dianut oleh satu keluarga, seperti anggota tidak
produktif diasingkan dari lingkungan sosial.
4.
Faktor biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa. Insiden
tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota keluarganya ada yang
menderita skizofrenia. Berdasarkan hasil penelitian pada kembar monozigot
apabila salah diantaranya menderita skizofrenia adalah 58%, sedangkan bagi
kembar dizigot perentasenya 8%.
2.2.2
Faktor
Presipitasi
Stressor
presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor internal
maupun eksternal.
1.
Stressor sosial budaya
Stressor sosial budaya dapat memicu
kesulitan dalam berhubungan, terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti
perceraian, berpisah dengan orang yang dicintai, kehilangan pasangan pada usia
tua, dipenjara. Semua ini dapat menimbulkan isolasi sosial.
2.
Stressor biokimia
a.
Teori dopamin: kelebihan dopamin
pada mesokortikal dan mesolimbik serta tractus saraf dapat merupakan indikasi
terjadinya skizofrenia.
b.
Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi)
di dalam darah akan meningkatkan dopamine dalam otak. Karena salah satu
kegiatan MAO adalah sebagai enzim yang menurunkan dopamine, maka menurunnya MAO
juga dapat merupakan indikasi terjadinya skizofreni.
c.
Faktor endokrin: jumlah FSH dan LH
yang rendah ditemukan pada klien skizofrenia. Demikian pula prolactin mengalami
penurunan karena dihambat.
2.3
Rentang
Respon Neurobiologik
Respon adaptif
respon maladaptif
2.4
Tanda dan
Gejala
Menurut
Damaiyanti dan Iskandar (2012:80), tanda dan gejala klien dengan isolasi
sosial.
1.
Banyak berdiam diri dikamar.
2.
Kurang bertenaga.
3.
Sikap murung dan datar.
4.
Tidak atau kurang komunikasi verbal.
5.
Tidak merawat diri dan memperhatikan
diri.
6.
Tidak atau malas mengikuti kegiatan.
7.
Klien kurang spontan terhadap
stimulus yang diberikan.
8.
Tidak atau kurang sadar terhadap
lingkungan sekitar.
9. Tidak mau
bercakap-cakap, pergi jika diajak bicara.
10. Kontak mata kurang atau tidak mau mentap lawan bicara.
Perilaku ini biasanya disebabkan
karena seseorang menilai dirinya rendah, sehingga timbul perasaan malu untuk
berinteraksi dengan orang lain. Bila tidak diberikan intervensi lebih lanjut, maka akan menyebabkan perubahan persepsi
sensori : halusinasi dan resiko tinggi menyederai diri sendiri, orang lain bahkan lingkungan. Perilaku yang tertutup
dengan orang lain juga bisa menyebabkan intoleransi aktivitas yang akhirnya
bisa berpengaruh terhadap ketidakmampuan untuk melakukan perawatan secara
mandiri. Seseorang yang mempunyai harga diri rendah awalnya disebabkan oleh
ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah dalam hidupnya, sehingga orang
tersebut berperilaku tidak normal (koping individu tidak aktif).
2.5
Komplikasi
Komplikasi yang mugkin di timbulkan
pada klien dengan isolasi sosial.
1.
Gangguan sensori presepsi:
halusinasi
2.
Defisit perawatan diri
2.6
Pengertian
Konsep dan Teori Perilaku
Perilaku
manusia adalah suatu aktivitas manusia itu sendiri (Notoatmodjo, 1993 dalam
Sunaryo, 2004:3). Secara umum perilaku manusia pada hakekatnya adalah proses
interaksi individu dengan lingkungannya sebagai manifestasi hayati bahwa dia
adalah makhluk hidup (Kumayati dan Desaminiarti, 1990 dalam Sunaryo, 2004:3).
2.6.1
Ciri-Ciri
Perilaku Manusia
1. Kepekaan
Sosial
Artinya
kemampuan manusia untuk dapat menyesuaikan perilakunya sesuai pandangan dan
harapan orang lain.
2. Kelangsungan
Perilaku
Artinya antara
perilaku yang satu ada kaitannya dengan perilaku yang lain, perilaku sekarang
adalah kelanjutan perilaku yang baru lalu, dan seterusnya. Dalam kata lain
bahwa perilaku manusia terjadi secara berkesinambungan bukan secara serta
merta.
3. Orientasi
pada Tugas
Artinya bahwa
setiap perilaku manusia selalu memiliki orientasi pada suatu tugas tertentu.
4. Usaha
dan Perjuangan
Usaha dan
perjuangan manusia telah dipilih dan ditentukan sendiri, serta tidak akan
memperjuangkan sesuatu yang memang tidak ingin diperjuangkan. Jadi, sebenarnya
manusia memiliki cita-cita yang ingin diperjuangkannya.
5. Setiap
Individu Manusia adalah Unik
Unik disini
mengandung arti bahwa manusia yang satu berbeda dengan manusia yang lain dan
tidak ada dua manusia yang sama persis dimuka bumi ini, walaupun ia dilahirkan
kembar.
2.6.2
Proses
Pembentukan Perilaku
Perilaku
manusia terbentuk karena adanya kebutuhan. Menurut Abraham Harold Maslow,
manusia memiliki lima kebutuhan dasar.
1.
Kebutuhan
fisiologis/biologis, yang merupakan kebutuhan pokok utama.
2.
Kebutuhan rasa aman.
3.
Kebutuhan mencintai dan
dicintai.
4.
Kebutuhan harga diri.
5.
Kebutuhan aktualisasi
diri.
2.6.3
Faktor
yang Mempengaruhi Perilaku
Faktor
genetik atau faktor endogen
Faktor
genetik atau keturunan merupakan konsepsi dasar atau modal untuk kelanjutan
perkembangan perilaku makhluk hidup. Faktor genetik berasal dari dalam diri
individu (endogen).
1.
Jenis ras, setiap ras
di dunia memiliki perilaku yang spesifik, saling berbeda satu dengan lainnya.
Tiga
komponen ras terbesar.
a.
Ras kulit putih atau
ras Kaukasia, ciri-ciri fisik: warna kulit putih, bermata biru, berambut
pirang. Perilaku yang dominan: terbuka, senang akan kemajuan, dan menjunjung
tinggi hak asasi manusia.
b.
Ras kulit hitam atau
ras Negroid, ciri-ciri fisik: berkulit hitam, berambut keriting, dan bermata
hitam. Perilaku yang dominan: tabiatnya keras, tahan menderita, dan menonjol
dalam kegiatan olahraga berat.
c.
Ras kulit kuning atau
ras Mongoloid, cirri-ciri fisik: berkulit kuning, berambut lurus, dan bermata
coklat. Perilaku yang dominan: keramah tamahan, suka bergotong royong, tertutup
dan senang dengan upacara ritual.
2. Jenis
kelamin perbedaan perilaku pria dan wanita dapat dilihat dari cara berpakaian
dan melakukan pekerjaan sehari-hari. Pria berperilaku atas dasar rasional atau
akal, sedangkan wanita atas dasar pertimbangan emosional.
2.6.4
Bentuk
Perilaku
Secara
garis besar perilaku ada dua macam.
1. Perilaku
pasif (respon internal)
Perilaku yang
sifatnya masih tertutup, terjadi dalam diri individu dan tidak dapat diamati
secara langsung. Perilaku ini sebatas sikap belum ada tindakan yang nyata.
2.
Perilaku aktif (respon
eksternal)
Perilaku
yang sifatnya terbuka. Perilaku aktif adalah perilaku yang dapat diamati
langsung, berupa tindakan yang nyata.
2.7
Definisi
Kelompok
Kelompok
adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu dengan yang lain, saling
bergantung dan mempunyai norma yang lain, saling bergantung dan mempunyai norma
yang sama (Struart & Laraia, 2001 dalam Keliat, 2012:3). Anggota kelompok
mungkin datang dari berbagai latar belakang yang harus ditangani sesuai dengan
keadaannya, seperti agresif, takut, kompetitif, kesamaaan, ketidaksamaan,
kesukaan, dan menarik (Yalom, 1995 dalam Stuart & Laria, 2001 dalam Keliat,
2012:3).
2.7.1
Tujuan
dan Fungsi Kelompok
Tujuan
kelompok adalah membantu anggotanya berhubungan dengan orang lain serta
mengubah perilaku yang destruktif dan maladaptif. Kekuatan kelompok ada pada
kontribusi dari setiap anggota dan pemimpin dalam mencapai tujuannya. Kelompok
berfungsi sebagai tempat berbagai tempat berbagi pengalaman dan saling membantu
satu sama lain, untuk menemukan cara menyelesaikan masalah. Kelompok merupakan
laboratorium tempat mencoba dan menemukan hubungan interpersonal yang baik,
serta mengembangkan perilaku yang adaptif (Keliat, 2012:3).
2.7.2
Komponen
Kelompok
Kelompok
terdiri dari delapan aspek, sebagai berikut (Stuart & Laraia, 2001 dalam
Keliat, 2012:4).
1. Struktur
Kelompok
Struktur kelompok
menjelaskan batasan, komunikasi, proses pengambilan keputusan, dan hubungan
otoritas dalam kelompok. Struktur kelompok menjaga stabilitas dan membantu
pengaturan pola perilaku dan interaksi. Struktur dalam kelompok diatur dengan
adanya pemimpin dan anggota, arah komunikasi dipandu oleh pemimpin, sedangkan
keputusan diambil secara bersama.
2. Besar
Kelompok
Jumlah anggota kelompok
yang nyaman adalah kelompok kecil yang anggotanya berkisar antara 10-12 menurut
Lancester (1980), sedangkan menurut Stuart dan Laraia (2001) adalah 7-10 orang.
Jika anggota kelompok terlalu besar akibatnya tidak semua anggota mendapat
kesempatan mengungkapkan perasaan, pendapat dan pengalamannya. Jika terlalu
kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi yang terjadi.
3. Lamanya
Sesi
Waktu yang optimal
untuk satu sesi adalah 20-40 menit bagi fungsi kelompok yang rendah dan 60-120
menit bagi fungsi kelompok yang tinggi (Stuart & Laraia, 2001). Biasanya
dimulai dengan pemanasan berupa orientasi, kemudian tahap kerja, dan finishing
berupa terminasi.
4. Komunikasi
Salah satu tugas
pemimpin kelompok yang penting adalah mengobservasi dan menganalisis pola
komunikasi dalam kelompok. Pemimpin menggunakan umpan balik untuk memberi
kesadaran pada anggota kelompok terhadap dinamika yang terjadi.
5. Peran
Kelompok
Pemimpin perlu
mengobservasi peran yang terjadi dalam kelompok, ada tiga peran dan fungsi
kelompok yang ditampilkan anggota kelompok dalam kerja kelompok, yaitu (Beme
& Sheats, 1948 dalam Stuart & Laraia, 2001) maintenance roles, task
roles, dan individual role. Maintenance roles, yaitu peran serta aktif dalam
proses kelompok dan fungsi kelompok. Task roles, yaitu fokus pada penyelesaian
tugas. Individual roles adalah self-centered dan distraksi pada kelompok.
6. Kekuatan
Kelompok
Kekuatan (power) adalah
kemampuan anggota kelompok dalam mempengaruhi berjalannya kegiatan kelompok.
Untuk menetapkan kekuatan anggota kelompok yang bervariasi diperlukan kajian
siapa yang paling banyak mendengar, dan siapa yang membuat keputusan dalam kelompok.
7. Norma
Kelompok
Norma adalah standar
perilaku yang ada dalam kelompok. Pengharapan terhadap perilaku kelompok pada
masa yang akan datang berdasarkan pengalaman masa lalu dan sat ini. Pemahaman
tentang norma kelompok berguna untuk mengetahui pengaruhnya terhadap komunikasi
dan interaksi dalam kelompok.
8. Kekohesifan
Kekohefisian adalah
kekuatan anggota kelompok bekerja sama dalam mencapai tujuan. Hal ini
mempengaruhi anggota kelompok untuk tetap betah dalam kelompok. Apa yang
membuat anggota kelompok tertarik dan puas terhadap kelompok, perlu di
identifikasi agar kehidupan kelompok dapat dipertahankan.
2.8 Definisi Terapi Aktivitas Kelompok
Terapi
aktivitas kelompok merupakan salah satu tindakan keperawatan untuk pasien
gangguan jiwa. Pelaksanaan terapi ini merupakan tanggung jawab penuh dari
seorang perawat (Keliat, 2010:82). Klien dibantu untuk melakukan sosialisasi
dengan individu yang ada disekitar klien. Sosialisasi dapat pula dilakukan
dengan secara bertahap dari interpersonal (satu dan satu), kelompok dan masa.
Aktivitas dapat berupa latihan sosialisasi dalam kelompok (Keliat, 2012:13).
Terapi aktivitas kelompok terdiri atas 7-10 orang sedangkan menurut Lancester
(1980) jumlah kelompok kecil berjumlah 10-12 orang (Keliat, 2012:5). Bertujuan
untuk meningkatkan kebersamaan, bersosialisasi, bertukar pengalaman dan
mengubah perilaku. Dalam terapi ini dibutuhkan leader, co-leader dan
fasilitator (Maryam, 2008:159). Terapi aktivitas kelompok adalah kegiatan yang
diberikan pada sekelompok orang atau klien dengan maksud memberikan fungsi
terapi dan rehabilitasi bagi anggotanya, dimana klien berkesempatan untuk
menerima dan memberikan umpan balik terhadap klien lain, mencoba meningkatkan
respon sosial dan harga dirinya. Dalam pelaksanaannya sebaikanya terapi
aktivitas kelompok dilakukan dengan jumlah angota sebanyak 7-10 orang dan
lamanya aktivitas 45-60 menit (Keliat, 2012:3)
.
2.8.1 Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi
Terapi
aktifitas kelompok (TAK): sosialisasi (TAKS) adalah upaya memfasilitasi kemampuan
sosialisasi sejumlah klien dengan masalah hubungan sosial (Keliat, 2012:16).
1.
Tujuan
a. Tujuan Umum TAKS
Pasien
dapat meningkatkan hubungan sosial dalam kelompok secara bertahap
b. Tujuan Khusus, yaitu:
1) klien mampu memperkenalkan diri;
2) klien mampu berkenalan dengan anggota kelompok;
3) klien mampu bercakap-cakap dengan anggota kelompok;
4) klien mampu menyampaikan dan membicarakan topik percakapan;
5) klien mampu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi
pada orang lain;
6) klien mampu bekerjasama dalam permaianan sosialisasi
kelompok;
7) klien mampu menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan
Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi yang telah dilakukan.
2.
Indikasi
Aktivitas
TAKS dilakukan dua sesi yang melatih kemampuan sosialisasi klien. Klien yang
mempunyai indikasi TAKS adalah klien dengan gangguan hubungan sosial berikut.
a. Klien
isolasi sosial yang telah mulai melakukan interaksi interpersonal.
b. Klien
kesulitan komunikasi verbal yang telah berespon sesuai dengan stimulus
.
2.8.2 Aktivitas Terapi Aktivitas Kelompok
Sosialisasi
1.
Sesi 1 : Kemampuan
memperkenalkan diri.
2.
Sesi 2 : Kemampuan
berkenalan.
3.
Sesi 3 : Kemampuan
bercakap-cakap.
4.
Sesi 4 : Kemampuan
bercakap-cakap topik tertentu.
5.
Sesi 5 : Kemampuan
bercakap-cakap masalah pribadi.
6.
Sesi 6 : Kemampuan
bekerja sama.
7.
Sesi 7 : Evaluasi
kemampuan sosialiasi.
2.8.3 Proses pelaksanaan terapi aktivitas kelompok sosialisasi sesi 1 (kemampuan memperkenalkan diri).
1. Tujuan
Klien mampu
memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap, nama panggilan, asal, dan
hobi.
2. Setting
a. Klien
dan perawat duduk bersama dalam lingkaran.
b. Rungan
nyaman dan tenang.
3. Alat
a. Tape
recorder
b. Kaset
c. Bola
tenis
4. Metode
a. Dinamika
kelompok
b. Diskusi
dan tanya jawab
c. Bermain
peran/simulasi
5. Langkah
kegiatan
a. Persiapan,
yaitu:
1) memilih
klien sesuai indikasi, yaitu isolasi sosial/menarik diri
2) membuat
kontrak dengan klien
3) mempersiapkan
alat dan tempat pertemuan.
b.
Orientasi
Pada
tahap ini perawat melakukan hal-hal sebagai berikut:
1) memberi
salam terapeutik : salam dari perawat
2) evaluasi/validasi
: menanyakan perasaan klien saat ini
3) kontrak
yang akan dilakukan, yaitu:
a) menjelaskan
tujuan kegiatan, yaitu memperkenalkan diri
b) menjelaskan
aturan main sebagai berikut yaitu:
(1) jika
ada peserta yang akan meninggalkan kelompok, harus meminta izin kepada perawat;
(2) lama
kegiatan 45 menit
(3) setiap
klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
c. Tahap
kerja sebagai berikut:
1) jelaskan
kegiatan, yaitu kaset pada tape recorder akan dihidupkan serta bola akan
diedarkan berlawanan dengan arah jarum jam (yaitu kearah kiri) dan pada saat
tape dimatikan maka anggota kelompok yang memegang bola memperkenalkan dirinya
2) hidupkan
kaset pada tape recorder dan edarkan bola tenis berlawanan dengan arah jarum
jam
3) saat
tape dimatikan, anggota kelompok yang memegang bola mendapat giliran untuk menyebutkan : salam,
nama lengkap, nama pangilan, hobi, asal, dimulai oleh perawat sebagai contoh
4) tulis
nama panggilan pada kertas atau papan nama dan tempel/pakai
5) ulangi
kegiatan tersebut sampai semua anggota kelompok mendapat giliran
6) beri
pujian untuk setiap keberhasilan anggota kelompok dengan memberi tepuk tangan.
d. Tahap
terminasi, yaitu:
1) evaluasi,
yaitu:
a) menanyakan
perasaan klien setelah mengikuti terapi.
b) memberi
pujian atas keberhasilan kelompok.
2) rencana
tindak lanjut yaitu sebagai berikut:
a) menganjurkan
tiap anggota kelompok melatih memperkenaklan diri kepada orang lain dikehidupan
sehari-hari
3) kontrak
yang akan datang, yaitu:
a) menyepakati
kegiaatan berikutnya, yaitu berkenalan dengan anggota kelompok
b) Menyepakati
waktu dan tempat.
2.8.4 Proses pelaksanaan terapi aktivitas
kelompok sosialisasi sesi 2 (kemampuan berkenalan).
1. Tujuan
Klien mampu
berkenalan dengan anggota kelompok.
a. Memperkenalkan
diri sendiri: nama lengkap, nama panggilan, asal, dan hobi.
b. Menanyakan
diri anggota kelompok lain: nama lengkap, nama panggilan, asal dan hobi.
2. Setting
a. Klien
dan perawat duduk bersama dalam lingkaran.
b. Ruangan
nyaman dan tenang.
3. Alat
a. Tape
recorder.
b. Kaset.
c. Bola
tenis.
4. Metode
a. Dinamika
kelompok.
b. Diskusi
dan tanya jawab.
c. Bermain
peran/simulasi.
5. Langkah
kegiatan
a. Persiapan,
yaitu:
1) mengingatkan
kontrak dengan anggota yang telah mengikuti sesi 1 TAKS
2) mempersiapkan alat dan tempat
pertemuan.
b. Orientasi
Pada tahap ini
terapis melakukan sebagai berikut:
1) memberi
salam terapeutik, yaitu:
a) salam
terapeutik
b) peserta
dan perawat memakai papan nama
2) evaluasi/validasi,
yaitu:
a) menanyakan
perasaan klien saat ini
b) menanyakan
apakah telah mencoba memperkenalkan diri pada orang lain.
3) kontrak
yang akan dilakukan seperti berikut:
a) menjelaskan
tujuan kegiatan, yaitu berkenalan dengan anggota kelompok
b) menjelaskan
aturan main sebagai berikut:
(1) jika
ada peserta yang akan meninggalkan kelompok, harus meminta izin kepada perawat;
(2) lama
kegiatan 45 menit
(3) setiap
klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
c. Tahap
kerja, sebagai berikut:
1)
hidupkan kaset pada
tape recorder dan edarkan bola tenis berlawanan dengan arah jarum jam;
2)
pada saat tape
dimatikan, anggota kelompok yang memegang bola dan mendapat giliran untuk
berkenalan dengan anggota kelompok yang ada disebelah kanan dengan cara sebagai
berikut:
a)
memberi salam
b)
menyebutkan nama lengkap,
nama panggilan, asal, hobi
c)
menanyakan nama
lengkap, nama panggilan, asal, dan hobi lawan bicara
d)
dimulai oleh perawat
sebagai contoh
3)
ulangi kegiatan sampai
semua anggota kelompok mendapat giliran
4)
hidupkan kembali tape
recorder dan edarkan bola. Pada saat tape dimatikan, minta pada anggota
kelompok yang memegang bola untuk memperkenalkan anggota kelompok yang
disebelah kananya kepada kelompok, yaitu : nama lengkap, nama panggilan, asal,
dan hobi. Dimulai oleh terapis sebagai contoh
5)
ulangi kegiatan sampai
anggota kelompok mendapat giliran
6)
beri pujian untuk
setiap keberhasilan anggota kelompok dengan memberi tepuk tangan.
d.
Tahap terminasi, yaitu:
1)
evaluasi, yaitu:
a)
menanyakan perasaan
klien setelah mengikuti TAK
b)
memberi pujian atas
keberhasilan kelompok.
2)
rencana tindak lanjut,
yaitu:
a) menganjurkan
tiap anggota kelompok latihan berkenalan.
3)
kontrak yang akan datang, yaitu:
a) menyepakati
kegiatan berikut, yaitu dengan bercakap-cakap dengan kehidupan pribadi
b) menyepakati
waktu dan tepat.
2.8.5 Proses pelaksanaan terapi aktivitas
kelompok sosialisasi sesi 3 (kemampuan bercakap-cakap).
1. Tujuan
Klien mampu
bercakap-cakap dengan anggota kelompok.
a. Menanyakan
kehidupan pribadi kepada satu orang kelompok.
b. Menjawab
pertanyaan tentang kehidupan pribadi.
2. Setting
a. Klien
dan perawat duduk bersama dalam lingkaran.
b. Ruangan
nyaman dan tenang.
3. Alat
a. Tape
recorder.
b. Kaset.
c. Bola
tenis.
4. Metode
a. Dinamika
kelompok.
b. Diskusi
dan tanya jawab.
c. Bermain
peran/simulasi.
5. Langkah kegiatan
a. Persiapan,
yaitu:
1) mengingatkan
kontrak dengan anggota yang telah mengikuti sesi 2 TAKS
2) mempersiapkan
alat dan tempat pertemuan.
b. Orientasi
Pada tahap ini
terapis melakukan sebagai berikut:
1)
memberi salam
terapeutik, yaitu:
a) salam
terapeutik
b) peserta
dan perawat memakai papan nama.
2) evaluasi/validasi,
yaitu:
a) menanyakan
perasaan klien saat ini
b) menanyakan
apakah pasien telah mencoba berkenalan dengan orang lain.
3) kontrak
yang akan dilakukan seperti berikut:
a) menjelaskan
tujuan kegiatan, yaitu bertanya dan menjawab tentang kehidupan pribadi
b) menjelaskan
aturan main sebagai berikut:
(1) jika
ada peserta yang akan meninggalkan kelompok, harus meminta izin kepada perawat
(2) lama
kegiatan 45 menit
(3) setiap
klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
c. Tahap
kerja, sebagai berikut:
1)
hidupkan kaset pada
tape recorder dan edarkan bola tenis berlawanan dengan arah jarum jam
2)
pada saat tape
dimatikan, anggota kelompok yang memegang bola dan mendapat giliran untuk
bertanya tentang kehidupan pribadi anggota kelompok disebelah kanan dengan
cara:
a)
memberi salam
b)
memanggil nama
panggilan
c)
menanyakan kehidupan
pribadi: orang dekat, dipercayai, disegani
d)
dimulai oleh perawat
sebagai contoh.
3)
ulangi kegiatan sampai
semua anggota kelompok mendapat giliran;
4)
beri pujian untuk
setiap keberhasilan anggota kelompok dengan memberi tepuk tangan.
d.
Tahap terminasi, yaitu:
1)
evaluasi, yaitu:
a)
menanyakan perasaan
klien setelah mengikuti TAKS
b)
memberi pujian atas
keberhasilan kelompok.
2)
rencana tindak lanjut,
yaitu:
a) menganjurkan
tiap anggota kelompok bercakap-cakap tentang kehdupan pribadi.
3)
kontrak yang akan datang, yaitu:
a) menyepakati
kegiatan berikut, yaitu menyampaikan dan membicarakan topik pembicaraan
tertentu
b) menyepakati
waktu dan tepat.
2.8.6 Proses pelaksanaan terapi aktivitas
kelompok sosialisasi sesi 4 (kemampuan menyampaikan dan membicarakan topik
percakapan).
1. Tujuan
Klien mampu
menyampaikan topik pembicaraan tertentu dengan anggota kelompok.
a. Menyampaikan
topik yang ingin dibicarakan.
b. Memilih
topik yang ingin dibicarakan.
c. Memberi
pendapat tentang topik yang dipilih.
2. Setting
a. Klien
dan perawat duduk bersama dalam lingkaran.
b. Ruangan
nyaman dan tenang.
3. Alat
a. Tape
recorder.
b. Kaset.
c. Bola
tenis.
d. Flipchart/whiteboard
dan spidol.
4. Metode
a. Dinamika
kelompok.
b. Diskusi
dan tanya jawab.
c. Bermain
peran/simulasi.
5. Langkah kegiatan
a. Persiapan,
yaitu:
1)
mengingatkan kontrak
dengan anggota yang telah mengikuti sesi 3 TAKS
2) memperiapkan
alat dan tempat pertemuan.
b. Orientasi
Pada tahap ini
terapis melakukan sebagai berikut:
1)
memberi salam
terapeutik, yaitu:
a) salam
terapeutik
b) peserta
dan perawat memakai papan nama.
2) evaluasi/validasi,
yaitu:
a) menanyakan
perasaan klien saat ini
b) menanyakan
apakah pasien telah latihan berckap-cakap dengan orang lain.
3) kontrak
yang akan dilakukan seperti berikut:
a) menjelaskan
tujuan kegiatan, yaitu menyampaikan, memilih, dan memberi pendapat tentang
topik percakapan
b) menjelaskan
aturan main sebagai berikut:
(1) jika
ada peserta yang akan meninggalkan kelompok, harus meminta izin kepada perawat
(2) lama
kegiatan 45 menit
(3) setiap
klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
c. Tahap
kerja, sebagai berikut:
1)
hidupkan kaset pada
tape recorder dan edarkan bola tenis berlawanan dengan arah jarum jam
2)
pada saat tape
dimatikan, anggota kelompok yang memegang bola dan mendapat giliran untuk
menyampaikan satu topik yang ingin dibicarakan. Dimulai oleh perawat sebagai
contoh. Mislanya, “cara bicara yang baik” atau “cara mencari teman”
3)
tuliskan pada
flipchart/whiteboard topik yang disampaikan secara berurutan
4)
ulangi kegiatan sampai
semua anggota kelompok mendapat giliran;
5)
hidupakan lagi kaset
dan edarkan bola tenis. Pada saat dimatikan, anggota yang memegang bola memilih
topik yang disukai untuk dibicarakan dari daftar yang ada
6)
ulangi kegiatan
tersebut sampai anggota kelompok memilih topik;
7)
perawat membantu
menetapkan topik yang paling banyak dipilih;
8)
hidupkan lagi kaset dan
edarkan bola tenis. Pada saat dimatikan, anggota yang memegang bola
menyampaikan pendapat tentang topik yang dipilih
9)
ulangi kegiatan
tersebut sampai semua anggota kelompok menyampaikan pendapat
10)
beri pujian untuk tiap
keberhasilan angota kelompok dengan memberi tepuk tangan.
d.
Tahap terminasi, yaitu:
1)
evaluasi, yaitu:
a)
menanyakan perasaan
klien setelah mengikuti TAKS
b)
memberi pujian atas
keberhasilan kelompok.
2)
rencana tindak lanjut,
yaitu:
a) menganjurkan
tiap anggota kelompok bercakap-cakap tentang topik tertentu dengan orang lain
pada kehidupan sehari-hari
3)
kontrak yang akan datang, yaitu:
a) menyepakati
kegiatan berikut, yaitu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi
b) menyepakati
waktu dan tepat.
2.8.7 Proses pelaksanaan terapi aktivitas
kelompok sosialisasi sesi 5 (kemampuan menyampaikan dan membicarakan masalah
pribadi pada orang lain).
1. Tujuan
Klien mampu
menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi dengan orang lain.
a. Menyampaikan
masalah pribadi.
b. Memilih
satu masalah untuk dibicarakan.
c. Memberi
pendapat tentang masalah pribadi yang dipilih.
2. Setting
a. Klien
dan perawat duduk bersama dalam lingkaran.
b. Ruangan
nyaman dan tenang.
3. Alat
a. Tape
recorder.
b. Kaset.
c. Bola
tenis.
d. Flipchart/whiteboard
dan spidol.
4. Metode
a. Dinamika
kelompok.
b. Diskusi
dan tanya jawab.
c. Bermain
peran/simulasi.
5. Langkah kegiatan
a. Persiapan,
yaitu:
1) mengingatkan
kontrak dengan anggota yang telah mengikuti sesi 4 TAKS
2) memperiapkan
alat dan tempat pertemuan.
b. Orientasi
Pada tahap ini
terapis melakukan sebagai berikut:
1)
memberi salam
terapeutik, yaitu:
a) salam
terapeutik
b) peserta
dan perawat memakai papan nama.
2) evaluasi/validasi,
yaitu:
a) menanyakan
perasaan klien saat ini
b) menanyakan
apakah telah latihan bercakap-cakap tentang topik/hal tertentu dengan orang
lain.
3) kontrak
yang akan dilakukan seperti berikut:
a) menjelaskan
tujuan kegiatan, yaitu bertanya dan menjawab tentang kehidupan pribadi
b) menjelaskan
aturan main sebagai berikut:
(1) jika
ada peserta yang akan meninggalkan kelompok, harus meminta izin kepada perawat
(2) lama
kegiatan 45 menit
(3) setiap
klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
c. Tahap
kerja, sebagai berikut:
1)
hidupkan kaset pada
tape recorder dan edarkan bola tenis berlawanan dengan arah jarum jam
2)
pada saat tape
dimatikan, anggota kelompok yang memegang bola dan mendapat giliran untuk
menyampaikan suatu masalah pribadi yang ingin dibicarakan. Dimulai oleh perawat
sebagai contoh. Misalnya, “sulit bercerita” atau “tidak diperhatikan
ayah/ibu/kakak/teman”
3)
tulisakan pada
flipchart/whiteboard masalah yang disampaikan;
4)
ulangi kegiatan sampai
semua anggota kelompok menyampaikan masalah yang ingin dibicarakan;
5)
hidupkan lagi kaset dan
edarkan bola tenis. Pada saat dimatikan, anggota kelompok yang memegang bola
memlilih masalah yang ingin dibicarakan;
6)
ulangi kegiatan sampai
semua anggota kelompok memilih masalah yang ingin dibicarakan
7)
perawat membantu
menetapkan topik yang paling banyak dipilih
8)
hidupkan lagi kaset dan
edarkan bola tenis. Pada saat dimatikan, anggota kelompok yang memegang bola
meyampaikan pendapat tentang masalah yang dipilih
9)
ulangi kegiatan sampai
semua anggota kelompok menyampaikan pendapat
10)
beri pujian untuk
setiap keberhasilan anggota kelompok dengan memberi tepuk tangan.
d.
Tahap terminasi, yaitu:
3)
evaluasi, yaitu:
a)
menanyakan perasaan
klien setelah mengikuti TAKS
b)
memberi pujian atas
keberhasilan kelompok.
4)
rencana tindak lanjut,
yaitu:
b) menganjurkan
tiap anggota kelompok bercakap-cakap tentang masalah pribadi dengan orang lain
pada kehidupan sehari-hari.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan kepada 23
responden di Klinik Jiwa dan Rehabilitasi Mental Primaguna Tangerang Selatan
dari hasil uji analisis data menunjukan bahwa Terapi Aktivitas Kelompok
Sosialisasi yang dilakukan selama 45 menit setiap sesinya menunjukan perbedaan
yang signifikan terhadap perilaku pasien isolasi sosial sesudah dilakukan
terapi aktivitas kelompok sosialisasi. Hal ini dapat di buktikan dengan data
yang di peroleh dari hasil uji analisis sebagai berikut.
3.1.1 Sebelum terapi aktivitas kelompok sosialisasi perilaku pasien isolasi sosial
menunjukan perilaku sangat tidak baik sebanyak
69,6% dan perilaku tidak baik sebanyak 30,4%, perilaku baik sebanyak 0% dan perilaku sangat baik
sebanyak 0%.
3.1.2 Sesudah terapi aktivitas kelompok sosialisasi perilaku pasien isolasi sosial
menunjukan perilaku sangat baik sebanyak 56,5%, perilaku baik sebanyak 39,1% perilaku tidak baik sebanyak 4,4%
dan perilaku sangat tidak baik sebanyak 8,7%.
3.1.3 Terdapat perbedaan yang bermakna pada perilaku pasien isolasi sosial sesudah
dilakukan terapi aktivitas kelompok dengan
angka significancy 0,000
karena P (Sig) ≤ α (0,05) pada taraf signifikan 5%
maka Ho ditolak.
3.2 Saran
Beberapa saran yang dianjurkan berdasarkan kesimpulan
dari hasil penelitian tentang “Perbedaan Perilaku Pasien Isolasi Sosial Sesudah
dilakukan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi di Klinik Jiwa &
rehabilitasi Mental Primaguna Tangerang Selatan Tahun 2013”.
3.2.1 Bagi tempat penelitian
Berdasarkan hasil penelitian diatas menunjukan bahwa
terapi aktivitas kelompok sosialisasi sangat mempengruhi tingkat perbedaan
perilaku pasien isolasi sosial kearah yang lebih baik, maka disarankan bagi
perawat dan pihak Rumah Sakit Jiwa Dramagraha diharapakan terus
melanjutkan dan meningkatkan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi yang
mengkhususkan pada pasien-pasien yang mengalami isolasi sosial secara rutin
dari sesi 1 sampai sesi 7 dengan menggunakan
pedoman Terapi Aktivitas Kelompok yang di berikan.
3.2.2 Bagi peneliti selanjutnya
Penelitian ini dapat menjadi acuan pelaksanaan
penelitian lain di tempat yang berbeda dengan menggunakan metode yang sama.
Diharapkan pada peneliti selanjutnya memfokuskan pada klien yang kooperatif
pada satu kelompok, terapi aktivitas kelompok sosialisasi sebaiknya dilakukan
sampai 7 sesi untuk melihat perberbedaan yang signifikan pada pasien isolasi
sosial dan menggunakan sampel yang lebih besar agar nantinya mendapatkan hasil
yang maksimal.
3.2.3 Bagi institusi keperawatan
Terapi aktivitas kelompok sosialisasi dapat diterapkan
sebagai standar terapi keperawatan jiwa yang diberikan pada klien dengan
masalah isolasi sosial dan dapat dijadikan intervensi pada setiap perawatan
jiwa.
3.2.4 Bagi intitusi pendidikan
Hasil penelitian yang diperoleh tentang terapi aktivitas kelompok
sosialisasi yang dilaksanakan pada klien dengan isolasi sosial dapat digunakan
dan dikembangkan sebagai bahan kajian untuk menambah wawasan keilmuan khususnya
di bidang keperawatan jiwa serta pedoman Terapi
Aktivitas Kelompok Sosialisasi ini bisa dibuat sebagai HKI (Hak Karya Ilmiah).
DAFTAR PUSTAKA
Azizah,
M.L.2011. Keperawatan Jiwa (Aplikasi
Praktik Klinik). Yogyakarta: Graha Ilmu.
Carpenito,
L.J.2009. Diagnosis Keperawatan (Aplikasi
pada Praktik Klinis Edisi 9). Jakarta: EGC.
Dahlan,S.2010.
Mendiagnosis dan Menata Laksana 13
Penyakit Statistik. Jakarta: Sagung Seto.
Damaiyanti,
M., & Iskandar.2012. Asuhan
Keperawatan Jiwa. Jakarta: Refika Aditama.
Depkes
RI.2007. Riset Kesehatan Dasar.
http://www.depkes.go.id
Efendi,S.2011.
Pengaruh Pemberian Terapi Aktivitas
Kelompok Sosialisasi Terhadapan Perubahan Prilaku Klien Isolasi Sosial di Ruang
Gelatik RS Jiwa Prof HB Sa’anin Padang, 1-8. Diperoleh Tanggal 22 November 2013 pukul 11:
20,
www.thedigilib.com/doc/112053.
Elfindri.,
& Hasnita, E. 2011. Metodologi
Penelitian Kesehatan. Jakarta: Baduose Media.
Hastono,
S.P. 2007. Basic Data Analysis For Health
Research Training Analisa Data Kesehatan. Depok: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.
Hidayat,
A.A. 2007. Metode Penelitian Keperawatan
dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika.
Hidayati,E.2010.
Pengaruh Terapi Kelompok Suportif
Terhadap Kemampuan Mengatasi Perilaku Kekerasan pada Klien Skizofrenia di RSJ
dr. Amino Gondohutomo Semarang, 1-9. Diperoleh Tanggal 22 november 2013 pukul 12:30 ,
jurnal.unimus.ac.id/index.php/psn120120/article/view/5241.
Joko.2008.
Pengaruh Pemberian Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi Sesi 1 dan 2
Terhadap Perubahan Perilaku Menarik Diri Klien di Ruang Pringgodani RSJ Daerah
Surakarta. Diakses pada 22 november 2013 pukul 12:20, artikel edisi 04/September/2008-januari/2009.
Keliat,
B.A. & Akemat. 2009. Model Praktik
Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Keliat,
B.A., & Akemat.2012. Keperawatan Jiwa
Terapi Aktivitas Kelompok. Jakarta: EGC.
Luluk,
Z.A, & Bandiyah, S. 2008. Psikologi
Kesehatan. Jogjakarta: Mitra Cendikia.
Maryam,
R.S. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan
Perawatannya. Jakarta: Salemba Medika.
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nasir,
A., & Muhith, A. 2011. Dasar-Dasar
Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Pasaribu,
S. 2009. Pengaruh Aktivitas Kelompok Sosialisasi Terhadap Kemampuan Komunikasi Pasien Isolasi Sosial di Ruang Cempaka Rumah
Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatra Utara Medan. Diakses pada tanggal 22 november pukul 14:45.
Sabarguna,
B.S., & Yenti, T. (2012). Penelitian
Operasional Untuk Pembuatan Skripsi. Jakarta: Nulis Buku.
Siskayanti,
A.,Nugroho, A., & Hartoyo, M. 2011. Pengaruh
Terapi Komunikasi Terapeutik Terhadap Kemampuan Berinteraksi Klien Sosial di
RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang, 1-6. Diperoleh Tanggal 24 November 2013 pukul 18:30.